Menurut
Asghar Ali, Islam datang dengan semangat pembebasan, akan tetapi sepeninggal
Nabi Muhamad, Islam kehilangan elan vitalnya. Salah satunya terlihat dalam
konsep teologinya. Teologi Islam yang pada awalnya dekat dengan keadilan sosial
dan ekonomi, mulai beralih ke masalah-masalah eskatologi dan masalah yang
bersifat duniawi. Teologi Islam kemuddian berkembang dengan metode skolastik
dan spekulatif
Menurut
Asghar, ini dimulai pada zaman Muawiyah. Teologi Islam mulai bergulat dengan
masalah kehendak bebas vis a vis ketundukan pada takdir. Pandangan kehendak
bebas ini kemudian dikenal sebagai pandangan kaum qadariyah. Sedangkan
pandangan ketundukan pada takdir adalah pandangan kaum jabbariyah. Dalam
pandangan Asghar, pandangan jabbariyah ini sengaja diintrodusir oleh
penguasa karena lebih cenderung mendukung status qua. Menurutnya, kaum Sunni
banyak menganut faham jabbariyah ini. Sedangkan kaum Khawarij, Syi’ah
dan Mu’tazilah yang oposan terhadap Dinasti Umayyah memilih faham qadariyah
Teologi
Islam kemudian menjadi sebatas Ilmu Kalam yang skolastik dan spekulatif. Tema
kehendak bebas dan ketundukan pada takdir, menjadi dominan terkait dengan upaya
menjawab pertanyaan-pertanyaan yang muncul akibat persoalan politik. Kekacauan
politik yang melanda umat Islam menimbulkan pertanyaan tentang dosa besar,
mukmin dan kafir. Inilah yang ingin diselesaikan secara intelektual oleh
Teologi Islam saat itu
Asghar
juga menilai, Islam yang dekat dengan penguasa ini kemudian kehilangan aspek
pembebasan. Para Khalifah Umayyah lebih sering bersama para penguasa yang
tiran, sekaligus menindas siapa yang menentang. Jumlah budak berlipat ganda.
Harem menjadi budaya istana Khalifah. Sedangkan orang non-Arab diperlakukan
secara diskriminatif
Dari
konteks inilah, maka Teologi Islam, menurut Asghar semakin jauh dari perhatian
kepada masyarakat lemah. Teologi Islam hanya berbicara tentang keesaan Tuhan,
Sifat-sifat Tuhan, ketidakmungkinan adanya Tuhan selain Allah, tentang polemik
kehendak bebas dan takdir, dan masalah-masalah eskatologis. Teologi Islam tidak
lagi berbicara tentang bagaimana membantu fakir miskin, memelihara anak yatim,
bersikap kritis terhadap kekuasaan, membebaskan budak dan orang tertindas,
mempromosikan kesetaraan jender, dan tema-tema pembebasan lainnya. Selain itu,
keberpihakannya juga cenderung kepada penguasa. Maka, dalam kondisi demikian,
Asghar bisa memahami kritik Marx bahwa agama adalah candu masyarakat
Gagasan Teologi Pembebasan Asghar Ali Engineer
Spirit Pembebasan dalam Islam
Asghar
Ali melihat Islam sebagai agama yang mengandung semangat pembebasan. Oleh
karena itu, Asghar mencoba untuk merevitalisasi nilai-nilai pembebasan Islam
dan merumuskan Islam sebagai Teologi Pembebasan. Upaya revitalisasi dan
perumusan itu dia dasarkan pada dua hal. Pertama, berdasarkan pada
analisis kesejarahan pembebasan yang pernah dilakukan Nabi Muhamad. Dalam hal
ini keyakinan Asghar terhadap nabi Muhamad sama dengan keyakinan penganut
Teologi Pembebasan di Amerika Latin terhadap Yesus. Nabi Muhamad lahir untuk
melakukan proses pembebasan manusia dari penindasan dan ketidakadilan. Struktur
masyarakat Arab di mana Nabi Muhamad lahir waktu itu mencerminkan ketimpangan
sosial. Ada segolongan elit ekonomi dan penguasa yang kaya raya. Sedangkan
mayoritas lainnya adalah orang miskin dan para budak yang tertindas. Ajaran
Nabi Muhamad, ditolak semata-mata bukan karena ajarannya untuk menyembah Allah,
tapi karena implikasi sosialnya yang akan secara radikal merubah tatanan yang
tidak adil itu.
Selain
itu, dalam sejarah, Nabi juga telah melakukan upaya-upaya radikal untuk memberi
posisi yang layak pada perempuan, setelah sebelumnya posisi perempuan dalam
budaya waktu itu berada pada tempat yang sangat rendah.
Kedua, dari banyaknya ayat-ayat Al-Qur’an yang secara eksplisit
mendorong proses pembebasan seperti Ayat tentang pemerdekaan budak, kesetaraan
umat manusia, kesetaraan jender, kecaman atas eksploitasi dan ketidakadilan
ekonomi, dan lain sebagainya. Sebagian ayat perlu ditafsir ulang karena
penafsiran yang ada saat ini terhadap sebagian ayat itu, menurut Asghar tidak
sesuai lagi dengan semangat pembebasan awal, semisal ayat-ayat tentang keadilan
jender.
Dalam
pembacaan ayat-ayat Al-Qur’an ini Asghar menggunakan pendekatan sosio-historis
sebagaimana double movement-nya Fazlur Rahman. Asghar mencoba kembali ke
masa lalu di mana ayat-ayat itu turun, mengambil esesnsi dasar dari maksud ayat
itu, kemudian dikontekstualisasikan pada problem-problem kontemporer.
Dari
dua hal inilah Asghar ingin menggali Teologi Pembebasan dari nilai-nilai Islam.
Berbeda dengan Gustavo Guiterez yang tinggal menuliskan apa yang baru saja
terjadi, Asghar mencoba untuk merekonstruksi kembali apa yang terjadi,
terutama, pada praksis pembebasan yang dilakukan Nabi Muhamad empat belas abad
yang lalu.
Pembebasan dari ketidaksetaraan manusia
Pada
zaman Nabi Muhamad dulu, masyarakat Arab dikenal fanatik terhadap suku mereka.
Sikap fanatisme atau ashabiyah ini terekspresikan dengan memandang
rendah orang di luar kelompoknya. Selain itu, sebagaimana di belahan bumi
lainnya, perbudakan adalah sesuatu yang lazim. Tindakan nabi memilih sahabat
Bilal sebagai muazzin pada waktu itu sungguh merupakan tindakan yang
menurut Asghar cukup revolusioner sebab sebelumnya, bilal yang berasal dari
etnis berkulit hitam tersebut adalah bekas budak. Dengan cara ini nabi
menunjukkan bahwa harkat martabat manusia melampaui batas-batas etnis, suku,
warna kulit, merdeka atau hamba sahaya
Selain
itu, Al-Qur’an menegaskan bahwa sesungguhnya semua umat manusia berasal dari
satu keturunan yang sama. Tidak ada yang lebih mulia satu dari lainnya
berdasarkan etnis, suku ataupun warna kulitKemulian itu hanya bisa dicapai
lewat kualitas ketakwaan. Al-Qur’an menyatakan:
Hai
manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa – bangsa dan bersuku-suku supaya kamu
saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu
disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah
Maha mengetahui lagi Maha Mengenal (Al-hujurat: 13).
Ayat
di atas diperuntukkan tidak hanya bagi orang Arab, tetapi bagi seluruh umat
manusia. Dewasa ini, persoalan kesetaraan umat manusia masih menjadi
persoalan dunia. Rasisme masih menghinggap di banyak pikiran orang, sehingga
PBB perlu untuk meneguhkan ide-ide persamaan ini.
Pembebasan dari Ketidakadilan Jender
Pada
zaman Nabi, untuk pertama kalinya perempuan Arab mendapatkan banyak hak yang
sebelumnya tak terbayangkan. Perempuan pada masa itu dalam posisi sub-ordinat
yang sangat lemah. Nabi menetapkan, Perempuan bisa mewarisi, bisa mempunyai hak
milik sendiri, bisa menta cerai dan bisa menentukan dirinya sendiri. Pada sisi
lain, poligini yang sebelumnya tanpa batas, kemudian dibatasi maksimal empat
istri. Itupun dengan persyaratan yang ketat. Sedangkan poliandri dengan tegas
dilarang
Selain
itu, Nabi Muhamad merubah perlakuan masyarakat terhadap anak perempuan. Jika
sebelumnya masyarakat Arab mempunyai tradisi mengubur anak perempuannya
hidup-hidup karena rasa malu, maka Nabi kemudian melarang tradisi itu sekaligus
merubah stigma negatif terhadap anak perempuan.
Selain
itu, Islam juga memberikan hak yang sama bagi perempuan untuk mendapatkan
pendidikan, hak berpolitik, hak untuk memimpin, hak untuk bekerja dan hak untuk
terlibat aktif pada urusan publik. Untuk itu, pada sisi lain, Asghar mengkritik
Negara-negara yang mengatasnamakan Islam melakukan pengekangan terhadap hak-hak
perempuan.
Pembebasan dari ketidakadilan ekonomi
Ketidakadilan
ekonomi adalah persoalan yang paling banyak disinggung oleh Asghar Ali. Dalam
Al-Qur’an, kata kunci keadilan adalah ‘adl dan qist. Ádl dalam
bahasa Arab mengandanung arti sawiyyah atau persamaan/kesetaraan. Kata
itu juga mengandung arti pemerataan dan kesamaan. Sedangkan qist mengandung
arti distribusi, jarak yang merata, kejujuran dan kewajaran
Dengan
konsep ini, maka yang diinginkan oleh Al-qur’an adalah pemerataan kekayaan.
Oleh karena itu Islam melarang konsentrasi harta pada pihak-pihak tertentu. Dan
menentang bermewah-mewahan dengan harta, sementara pada saat yang sama banyak
orang lain yang membutuhkan. Konsentrasi ini dalam konteks saat ini bisa pada
diri perseorangan atau kelompok dalam satu wilayah atau Negara, bahkan bisa
lintas Negara. Polaritas antara Negara Utara dan Negara Selatan di mana
kebanyakan negara berpenduduk Islam berada di situ, adalah juga bentuk
konsentrasi kekayaan. Negara Utara, teerutama G-8, mewakili negara dengan
kekayaan berlimpah sedangkan Negara Selatan mewakili Negara dunia ketiga yang
miskin
Satu
praktik ekonomi yang saat itu sangat dikecam adalah praktik riba yang banyak
ditafsirkan sebagai bunga. Dalam konteks kehidupan modern, riba selalu
dikonotasikan dengan dunia perbankan dan praktik rentenir. Asghar tidak setuju
dengan penafsiran ini. Menurutnya riba tidak sekedar bunga bank. Riba kebih dari
sekedar bank. Oleh karena itu, menghilangkan bunga bank tidak akan berpengaruh
banyak terhadap praktek riba. Menurut Asghar, riba adalah praktik eksploitasi
ekonomi yang harus dipahami dalam konteks sistem ekonomi kapitalistik sekarang
ini. Maka, kemunculan bank-bank tanpa bunga tidak mempengaruhi eksploitasi
ekonomi tersebut.
Asghar
lalu menunjuk pada struktur ekonomi yang timpang antara Negara Utara dan Negara
Selatan, aturan-aturan perdagangan seperti WTO, atau aturan bantuan oleh World
Bank dan IMF yang menciptakan ketergatungan negara miskin dan menguntungkan
Negara kaya. Selain itu Asghar juga menunjuk dominasi Multinational
Corporation (MNC) dan Transnational Corporation (TNC) yang banyak
mengeksploitasi buruh dan sumberdaya alam di negara dunia ketiga. Kondisi eksploitatif ini sampai
sekarang belun ada tanda-tanda akan mereda, bahkan seiring dengan menguatnya
madzhab ekonomi neo-liberal, Negara-negara kuat semakin kuat untuk
mengekspresikan naluri-naluri eksploitatifnya dengan menekan Negara-negara
lemah agar membuat kebijakan yang menguntungkan mereka.
Hanya
saja, tawaran Asghar mengenai masalah ketidakadilan ekonomi ini sangat problematis.
Pada masalah bunga bank, ia tidak setuju dengan upaya pendirian perbankan tanpa
bunga, karena cara seperti itu hanya artificial semata dan tidak menyelesaikan
persoalan yang sesungguhnya, yaitu system ekonomi kapitalistik yang
eksploitatif.
Akan
tetapi ia belum memberi solusi yang jelas atas problem perbankan ini. Pada sisi
lain, kritiknya atas sistem ekonomi kapitalis tidak disertai dengan tawaran
yang kongkrit tentang sistem ekonomi alternatif. Gagasannya yang cenderung
sosialistik tidak serta merta diikuti dengan tawaran sistem ekonomi sosialis
atau system ekonomi lainnya yang menjadi alternative dari kapitalisme. Untuk
konteks sekarang ada banyak contoh dari Amerika Latin yang secara kebetulan
merupakan basis Teologi Pembebasan. Di sana kapitalisme mendapat goyangan yang
cukup hebat karena semakin banyaknya tokoh-tokoh “kiri” yang menjadi presiden.
Mereka kemudian membawa negaranya beralih ke sistem yang popular dengan sebutan
‘neo-sosialisme’ yang merupakan revisi dari sosialisme yang dinilai kurang
mampu membawa kemakmuran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar