Selasa, 28 Maret 2017

TEOLOGI PEMBEBASAN ASGHAR ALI ENGINEER

“Agama adalah Candu Masyarakat”, demikian sepenggal kalimat yang dianggap saripati pandangan Karl Marx terhadap agama. Agama, menurut Marx adalah ciptaan manusia sebagai tempat untuk berkeluh kesah dan pelarian sementara, mengalihkan diri dari realitas penderitaan yang di alami oleh manusia. Agama meenyediakan ajaran-ajaran yang meninabobokan para pengikutnya agar lebih menerima kenyataan yang ia alamai sebagai bagian dari perjalanan hidup yang dikehendaki Tuhan
Pandangan Marx ini didasaarkan pada realitas pada zamannya, dimana agama tidak berbuat apa-apa pada saat umatnya mengalami kemiskinan, penderitaan, dan penindasan oleh eksploitasi para kapitalis yang mendapat dukungan dari para birokrat. Justru dalam kondisi demikian, kaum agamawan lebih memihak pada ke kaum kapitalis, dan memberikan legitimasi atas kondisi dan sistem ekonomi yang ada. Agama telah terkooptasi oleh kepentingan para kapitalis dan para birokrat.
Apakah Islam juga mengalami hal yang sama sebagaimana agama yang disaksikan Marx? Untuk sebagian, jawabannya adalah “ya”. Menurut Hassan Hanafi, Islam yang telah terkooptasi menjadi hanya sekedar kumpulan rirus-ritus, perayaan-perayaan, dan kepercayaan ukhrawi saja
Setelah menjadi kekuatan besar dan mapan, Kekhilafahan Islam juga menjelma menjadi eksploitatif dan feodal. Sedangkan perumusan Hukum Islam dan teologi yang dilakukan dalam kondisi seperti itu, sebagian besar melahirkan produk hukum dan teologi yang tumpul dan kehilangan elan pembebasan

Akan tetapi, Islam tidak selamanya berwajah tumpul dan terkooptasi oleh kepentingan kekuasaan politik dan ekonomi. Pada kesempatan lain Islam juga menjadi kekuatan revolusioner yang menentang penindasan. Hanafi mencatat, gerakan revolusi Iran, gerakan Tarekat Sanusiyah dan Omar Mokhtar di Libya dan gerakan Mahdiisme di Sudan, adalah gerakan-gerakan melawan kemapanan yang dilandaskan pada ajaran-ajaran Islam.Dari dua kondisi yang saling berlawanan tersebut, bisa dibaca bahwa sesungguhnya Islam mempunyai watak seperti dua sisi mata pedang. Pada saat tertentu bisa menjadi kekuatan legitimatif terhadap kekuatan yang menindas, akan tetapi pada saat yang lain bisa menjadi kekuatan revolusioner yang membebaskan. Dua watak itu muncul tergantung oleh siapa dan atas kepentingan apa pihak yang menafsirkan.
Dalam posisi yang demikian, Asghar Ali Engineer mencoba untuk membangun penafsiran yang ingin menampilkan sosok Islam yang membebaskan, bukan sosok Islam yang membiarkan bahkan ikut andil dalam praktik-praktik penindasan. Ia kemudian mencoba merevitalisasi nilai-nilai Islam untuk merumuskan Islam sebagai Teologi Pembebasan.
Makalah ini mencoba untuk mengkaji, bagaimana Asghar Ali merevitalisasi Islam sehingga menjadi ajaran yang membebaskan? Dengan konsep pembebasan yang ia rumuskan, pembebasan dalam aspek kehidupan apa saja yang bisa dia tawarkan?
Pengertian dan Sejarah Munculnya Teologi Pembebasan
Teologi Pembebasan adalah kata majemuk dari teologi dan pembebasan. Secara etimologis, teologi berasal dari theos yang berarti Tuhan dan logos yang berarti ilmu. Teologi adalah ilmu yang mempelajari tentang Tuhan dan hubungannya dengan manusia dan alam semesta. Sedangkan kata pembebasan merupakan istilah yang muncul sebagai reaksi atas istilah pembangunan (development) yang kemudian menjadi ideologi pengembangan ekonomi yang cenderung liberal dan kapitalistik dan umum digunakan di negara dunia ketiga sejak tahun 60-an
Teologi Pembebasan muncul di kawasan Amerika Latin sebagai respon atas kondisi sosial, ekonomi dan politik saat itu. Sejak tahun 1950-an negara-negara kawasan Amerika Latin ini melakukan proses industrialisasi di bawah arahan modal multinasional. Namun karena mementingkan pertumbuhan ekonomi, industrialisasi telah menciptakan kesenjangan sosial yang begitu tajam. Urbanisasi meningkat tajam. Kaum proletar –kelas buruh– tumbuh dengan cepat. Inflasi melambung, biaya hidup membubung. Ketidakpuasan meluas. Situasi politik menjadi tegang dan labil. Kudeta terjadi di mana-mana dan membuahkan pemerintahan diktator militer. Pada saat yang sama, otoritas gereja Katholik mulai terbuka terhadap perubahan dan pandangan-pandangan dari luar
Teologi Pembebasan merupakan gerakan yang telah dilakukan oleh para Romo, Uskup, dan bagian-bagian lain gereja sejak awal tahun 60-an. Mereka ini memimpin “Gereja untuk Orang Miskin”. Akan tetapi baru pada tahun 1971, Gustavo Gutierrez, asal Peru, adalah orang pertama yang merangkum paham Teologi Pembebasan secara tertulis lewat bukunya, Teologia de la Liberacion. Tokoh setelah Gustavo, Juan Louise Segundo (Uruguay), Hugo Asmann (Brazil) dan John Sabrino (El-Salvador), adalah pastor yang relatif punya otoritas dan profesional secara akademis. Karena itu Teologi Pembebasan menjadi mainstream dan paradigma yang khas Amerika Latin
Pemahaman Teologi Barat (Eropa) yang bersifat transendental dan rasional, yang berkutat dalam upaya memahami Tuhan dan iman secara rasional menurut para uskup Amerika Latin menimbulkan kemandekan berpikir, bertindak, dan menjauhkan gereja dari masalah-masalah kongkret. Teologi Barat, dianggap hanya sibuk mengkhotbahkan ajaran Yesus sejauh menyangkut hidup pribadi, mengimbau orang agar tetap bertahan dan sabar menghadapi penderitaan, menghibur kaum miskin dan tertindas dengan iming-iming surga setelah kematian.
Menurut mereka, gereja harus secara nyata melibatkan diri dan berpihak pada rakyat yang tak berdaya. Agama dan teologi, lanjut mereka, tak boleh meninabobokan umat beriman, melainkan harus memberikan dorongan kepada rakyat untuk melakukan perubahan. Rakyat harus disadarkan bahwa penderitaan, kemiskinan, dan keterbelakangan bukan nasib turunan, melainkan buah dari struktur sosial-ekonomi-politik yang berlaku..
Dalam konteks Teologi Pembebasan, Yesus adalah Sang Pembebas. Yesus lahir untuk mewartakan kabar gembira kepada orang miskin, dan mewartakan pembebasan bagi mereka yang terbelenggu, yang telah dengan berani menghadapi serangan para penguasa Romawi yang menindas orang Yahudi.
Pengikut Teologi Pembebasan memang tak menyangkal bahwa mereka menggunakan analisis marxian. Peranan marxisme hanyalah alat analisis yang dapat merekam dan mendeskripsikan ketidakadilan dan praktek kekerasan. Sementara pada sisi lain mereka menolak filsafat materialisme, ideologi ateis dan pengertian agama sebagai candu masyarakat. Kesadaran tentang keperluan teologi serupa, rupanya juga muncul di kalangan umat Isslam. Kita bisa menyebut Hassan Hanafi (Mesir) yang terkenal dengan gagasan Al-Yasar Al-Islami (Kiri Islam), Ziaul Haque (Pakistan, bukan Zia ul Haq yang mantan Presiden) yang menulis buku yang cukup provokatif, “Revelation and Revolution in Islam” (Wahyu dan Revolusi dalam Islam), Ali Syari’ati (Iran) yang dianggap sebagai ideolog Revolusi Iran dan harus pula disebut nama Asghar Ali Engineer (India) yang akan kita bahas pemikirannya tentang Teologi Pembebasan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MUSIM YANG BERCERITA

“Kita harus siap dengan kemungkinan apapun, bahkan kemungkinan terburuk sekalipun”. Kehidupan ini tidak selalu berbicara tentang...