“Agama
adalah Candu Masyarakat”, demikian sepenggal kalimat yang dianggap saripati
pandangan Karl Marx terhadap agama. Agama, menurut Marx adalah ciptaan manusia
sebagai tempat untuk berkeluh kesah dan pelarian sementara, mengalihkan diri
dari realitas penderitaan yang di alami oleh manusia. Agama meenyediakan
ajaran-ajaran yang meninabobokan para pengikutnya agar lebih menerima kenyataan
yang ia alamai sebagai bagian dari perjalanan hidup yang dikehendaki Tuhan
Pandangan Marx ini didasaarkan pada realitas pada
zamannya, dimana agama tidak berbuat apa-apa pada saat umatnya mengalami
kemiskinan, penderitaan, dan penindasan oleh eksploitasi para kapitalis yang
mendapat dukungan dari para birokrat. Justru dalam kondisi demikian, kaum agamawan lebih memihak
pada ke kaum kapitalis, dan memberikan legitimasi atas kondisi dan sistem
ekonomi yang ada. Agama telah terkooptasi oleh kepentingan para kapitalis dan
para birokrat.
Apakah
Islam juga mengalami hal yang sama sebagaimana agama yang disaksikan Marx?
Untuk sebagian, jawabannya adalah “ya”. Menurut Hassan Hanafi, Islam yang telah
terkooptasi menjadi hanya sekedar kumpulan rirus-ritus, perayaan-perayaan, dan
kepercayaan ukhrawi saja
Setelah
menjadi kekuatan besar dan mapan, Kekhilafahan Islam juga menjelma menjadi
eksploitatif dan feodal. Sedangkan perumusan Hukum Islam dan teologi yang
dilakukan dalam kondisi seperti itu, sebagian besar melahirkan produk hukum dan
teologi yang tumpul dan kehilangan elan pembebasan
Akan
tetapi, Islam tidak selamanya berwajah tumpul dan terkooptasi oleh kepentingan
kekuasaan politik dan ekonomi. Pada kesempatan lain Islam juga menjadi kekuatan
revolusioner yang menentang penindasan. Hanafi mencatat, gerakan revolusi Iran,
gerakan Tarekat Sanusiyah dan Omar Mokhtar di Libya dan gerakan Mahdiisme di
Sudan, adalah gerakan-gerakan melawan kemapanan yang dilandaskan pada
ajaran-ajaran Islam. Dari
dua kondisi yang saling berlawanan tersebut, bisa dibaca bahwa sesungguhnya
Islam mempunyai watak seperti dua sisi mata pedang. Pada saat tertentu bisa
menjadi kekuatan legitimatif terhadap kekuatan yang menindas, akan tetapi pada
saat yang lain bisa menjadi kekuatan revolusioner yang membebaskan. Dua watak
itu muncul tergantung oleh siapa dan atas kepentingan apa pihak yang
menafsirkan.
Dalam
posisi yang demikian, Asghar Ali Engineer mencoba untuk membangun penafsiran
yang ingin menampilkan sosok Islam yang membebaskan, bukan sosok Islam yang
membiarkan bahkan ikut andil dalam praktik-praktik penindasan. Ia kemudian
mencoba merevitalisasi nilai-nilai Islam untuk merumuskan Islam sebagai Teologi
Pembebasan.
Makalah
ini mencoba untuk mengkaji, bagaimana Asghar Ali merevitalisasi Islam sehingga
menjadi ajaran yang membebaskan? Dengan konsep pembebasan yang ia rumuskan,
pembebasan dalam aspek kehidupan apa saja yang bisa dia tawarkan?
Pengertian dan Sejarah Munculnya Teologi Pembebasan
Teologi
Pembebasan adalah kata majemuk dari teologi dan pembebasan. Secara etimologis,
teologi berasal dari theos yang berarti Tuhan dan logos yang
berarti ilmu. Teologi adalah ilmu yang mempelajari tentang Tuhan dan
hubungannya dengan manusia dan alam semesta. Sedangkan kata pembebasan
merupakan istilah yang muncul sebagai reaksi atas istilah pembangunan (development)
yang kemudian menjadi ideologi pengembangan ekonomi yang cenderung liberal dan
kapitalistik dan umum digunakan di negara dunia ketiga sejak tahun 60-an
Teologi
Pembebasan muncul di kawasan Amerika Latin sebagai respon atas kondisi sosial,
ekonomi dan politik saat itu. Sejak tahun 1950-an negara-negara kawasan Amerika
Latin ini melakukan proses industrialisasi di bawah arahan modal multinasional.
Namun karena mementingkan pertumbuhan ekonomi, industrialisasi telah
menciptakan kesenjangan sosial yang begitu tajam. Urbanisasi meningkat tajam.
Kaum proletar –kelas buruh– tumbuh dengan cepat. Inflasi melambung, biaya hidup
membubung. Ketidakpuasan meluas. Situasi politik menjadi tegang dan labil.
Kudeta terjadi di mana-mana dan membuahkan pemerintahan diktator militer. Pada saat
yang sama, otoritas gereja Katholik mulai terbuka terhadap perubahan dan
pandangan-pandangan dari luar
Teologi
Pembebasan merupakan gerakan yang telah dilakukan oleh para Romo, Uskup, dan
bagian-bagian lain gereja sejak awal tahun 60-an. Mereka ini memimpin “Gereja
untuk Orang Miskin”. Akan tetapi baru pada tahun 1971, Gustavo Gutierrez, asal
Peru, adalah orang pertama yang merangkum paham Teologi Pembebasan secara
tertulis lewat bukunya, Teologia de la Liberacion. Tokoh setelah
Gustavo, Juan Louise Segundo (Uruguay), Hugo Asmann (Brazil) dan John Sabrino
(El-Salvador), adalah pastor yang relatif punya otoritas dan profesional secara
akademis. Karena itu Teologi Pembebasan menjadi mainstream dan paradigma yang
khas Amerika Latin
Pemahaman
Teologi Barat (Eropa) yang bersifat transendental dan rasional, yang berkutat
dalam upaya memahami Tuhan dan iman secara rasional menurut para uskup Amerika Latin
menimbulkan kemandekan berpikir, bertindak, dan menjauhkan gereja dari
masalah-masalah kongkret. Teologi Barat, dianggap hanya sibuk mengkhotbahkan
ajaran Yesus sejauh menyangkut hidup pribadi, mengimbau orang agar tetap
bertahan dan sabar menghadapi penderitaan, menghibur kaum miskin dan tertindas
dengan iming-iming surga setelah kematian.
Menurut
mereka, gereja harus secara nyata melibatkan diri dan berpihak pada rakyat yang
tak berdaya. Agama dan teologi, lanjut mereka, tak boleh meninabobokan umat
beriman, melainkan harus memberikan dorongan kepada rakyat untuk melakukan
perubahan. Rakyat harus disadarkan bahwa penderitaan, kemiskinan, dan
keterbelakangan bukan nasib turunan, melainkan buah dari struktur
sosial-ekonomi-politik yang berlaku..
Dalam
konteks Teologi Pembebasan, Yesus adalah Sang Pembebas. Yesus lahir untuk
mewartakan kabar gembira kepada orang miskin, dan mewartakan pembebasan bagi
mereka yang terbelenggu, yang telah dengan berani menghadapi serangan para
penguasa Romawi yang menindas orang Yahudi.
Pengikut Teologi Pembebasan memang tak
menyangkal bahwa mereka menggunakan analisis marxian. Peranan marxisme hanyalah
alat analisis yang dapat merekam dan mendeskripsikan
ketidakadilan dan praktek kekerasan. Sementara pada sisi lain mereka menolak
filsafat materialisme, ideologi ateis dan pengertian agama sebagai candu
masyarakat. Kesadaran
tentang keperluan teologi serupa, rupanya juga muncul di kalangan umat Isslam.
Kita bisa menyebut Hassan Hanafi (Mesir) yang terkenal dengan gagasan Al-Yasar
Al-Islami (Kiri Islam), Ziaul Haque (Pakistan, bukan Zia ul Haq yang mantan
Presiden) yang menulis buku yang cukup provokatif, “Revelation and Revolution
in Islam” (Wahyu dan Revolusi dalam Islam), Ali Syari’ati (Iran) yang dianggap
sebagai ideolog Revolusi Iran dan harus pula disebut nama Asghar Ali Engineer
(India) yang akan kita bahas pemikirannya tentang Teologi Pembebasan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar