APLIKASI TEORI MEMAHAMI WUDHU
SETIAP KALI SHALAT DAN MENENTUKAN VALIDITASNYA
OLEH :
Ervina Mardiani[1]
A.
Pendahuluan
Manusia
sebagai makhluk sosial tidak akan pernah lepas dari pergaulan antar sesama dan
hubungan dengan sang pencipta. Sebagai makhluk yang berakal, sudah selayaknya
ketika menghadap Tuhannya harus mematuhi rambu-rambu yang digariskan oleh
syara’. Bahkan, ketika bermunajat dengan Sang Khaliq pun, harus diperhatikan
aturan mainnya, diantaranya adalah dengan melakukan thaharah sebagai mediator
dalam beribadah kepaad Alloh.
Setiap kegiatan ibadah umat Islam pasti melakukan
membersihkan (thaharah) terlebih dahulu mulai dari wuhdu. Wudhu adalah sebuah
syariat kesucian yang Allah ‘azza Wa Jalla tetapkan kepada kaum muslimin.
Sebagai pendahuluan bagi shalat dan ibadah lainnya. Di dalamnya terkandung
sebuah hikmah yang mengisyaratkan kepada kita bahwa hendaknya seorang muslim
memulai ibadah dan kehidupannya dengan kesucian lahir batin. Sebab kata ini
sendiri berasal dari kata yang mengandung makna “kebersihan dan keindahan”.
Wudhu
disyariatkan bukan hanya ketika kita hendak beribadah, bahkan juga disyariatkan
pada seluruh kondisi. Oleh karena itu, seorang muslim dianjurkan agar selalu
dalam kondisi bersuci (wudhu) sebagaimana yang dahulu yang dilazimi oleh Nabi
Muhammad SAW dan para sahabatnya yang mulia. Mereka senantiasa berwudhu, baik
dalam keadaan senang ataupun susah dan kurang menyenangkan (seperti saat muslim
hujan dan dingin).
B. Pembahasan
1. Pengertian
dan Hukum Dasar Wudhu
Al Imam Ibnu
Atsir Al-Jazary rohimahumullah (seorang ahli bahasa) menjelaskan bahwa jika
dikatakan wadhu’(اَلْوَضُوءْ), maka yang dimaksud adalah air yang digunakan berwudhu. Bila dikatakan wudhu
(الُوضُوءْ), maka yang diinginkan di situ adalah perbuatannya.
Jadi, wudhu adalah perbuatan sedang wadhu adalah air wudhu.[2]
Al-Hafizh
Ibnu Hajar Asy-Syafi’iy rohimahulloh, kata wudhu terambil dari kata al-wadho’ah
/ kesucian (اَلْوَضُوءْ). Wudhu disebut demikian, karena orang yang sholat
membersihkan diri dengannya. Akhirnya, ia menjadi orang yang suci.”[3]
Rukun Wudhu dalam kitab Fathul Mu’in disebutjkan ada 6
hal yang menjadi rukun wudhu:[4]
1. Niat fardhu nya
wudhu ketika pertama kali membasuh wajah
2. Membasuh
wajah
3. Membasuh
kedua tangan dari telapak dan lengan sampai siku
4. Membasuh
sebagian kepala
5. Membasuh
kedua kaki beserta kedua mata kaki
6. Tertib
Dan terdapat perbedaan pendapat ketika menyebutkan
rukun wudhu. Ada yang menyebutkan 4 saja, sebagaimana yang tercantum dalam ayat
Qur’an, namun ada juga yang menambahinya dengan berdasarkan dalil dari sunnah.[5]
4 (empat) rukun menurut Al-Hanafiyah mengatakan bahwa rukun wudhu itu hanya ada
4 sebagamana yang disebutkan dalam Nash Qur’an. 7 (tujuh) rukun menurut
Al-Malikiyah menambahkan dengan keharusan niat, ad-dalk yaitu menggosok anggota
wudhu, sebab menurut beliau sekedar mengguyur anggota wudhu dengan air masih
belum bermakna mencuci atau membasuh, juga beliau menambahkan kewajiban
muwalat. 6 (enam) rukun menurut As-Syafi’iyah menambahnya dengan niat
pembasuhan dan usapan dengan urut, tidak boleh terbolak balik. Istilah yang
beliau gunakan adalah harus tertib. 7 (tujuh) rukun menurut Al-Hanabilah
mengatakan bahwa harus niat, tertib dan muwalat, yaitu berkesinambungan. Maka
tidak boleh terjadi jeda antara satu anggota dengan anggota yang lain yang
sampai membuatnya kering dari basahnya air bekas wudhu.
Adapun Syarat-syarat Wudhu yaitu:
1. Menggunakan air
mutlaq.
2. Mengalirkan
air di atas anggota yang dibasuh.
3. Tidak ada
sesuatu pada anggota yang dapat mengubah air, yaitu perubahan yang merusakkan
nama air mutlak itu.
4. Pada anggota
wudhu, tidak ada sesuatu yang menghalangi antara air dan anggota yang dibasuh
5. Dilakukan
sesudah masuk waktu shalat bagi orang yang selalu berhadats.
Hal-hal yang membatalkan Wudhu
1. Kencing dan
Buang Air Besar
Hal yang
membatalkan wudhu dan disepakati bersama adalah keluarnya kencing dan tinja
dari seseorang. Tentang batalnya wudhu karena kencing dan tinja adalah sesuatu
yang sudah sangat diketahui dan disepakati dan sudah jelas tidak memerlukan
dalil untuk menjelaskannya.
2. Madzi dan
Wadi
Termasuk
yang membatalkan yang keluar dari kemaluan depan seorang laki-laki adalah madzi
dan wadi.
Madzi adalah
sesuatu yang keluar dari penis seseorang lelaki setelah dia bercumbu, melihat
atau berpikir mengenai seks. Dia adalah air yang kental yang keluar dengan cara
mengalir dan tidak memancar laksana mani.
Sedangkan
wadi adalah air berwarna putih yang keluar setelah buang air kecil.Keduanya
membatalkan wudhu laksana kencing, dan tidak ada kewajiban apa-apa lagi bagi
seseorang yang keluar madzi dan wadi kecuali istinja’ dan wudhu.
3. Keluarnya
Angin dari Anus
Dalam
riwayat Al-Bukhari dan Muslim disebutkan dari Abu Hurairah, bahwa Rosululloh
SAW bersabda:
لاَيَقْبَلُ اللهَ صَلاَةَ اَحَدُكُمْ إِذَا أَحْدَثَ
حَتَّى يَتَوَضَّاءَ
Artinya: Allah tidak menerima shalat salah seorang dia
nataramu bila ia berhadats, sehingga ia berwudhu”. Abu Hurairah menafsirkan kata “hadats”, di sini ada
orang bertanya kepadanya: “apa yang dimaksud dengan hadats”? Dia berkata:
kentut yang tidak ada suaranya dan kentut yang ada suaranya.Dalam riwayat
Al-Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Zaid dari Ashim Al-Anshari, bahwa dia
mengadukan sesuatu kepada Rasulullah tentang seseorang yang ragu merasakan
sesuatu pada saat shalat yakni dia merasakan ada angin keluar dari anusnya,
maka Rasulullah SAW bersabda:
لاَيَنْفَتِلْ أَوْ لاَ يَنْصَرِفْ حَتَّى يَسْمَعَ
صَوْتًا أَوْ يَجِدَرِيْحًا
“Janganlah dia berhenti (berpaling) hingga dia
mendengar bunyi atau dia mencium bau”.[6]
Artinya, dia masih tetap berada dalam keadaan suci dan
dalam wudhunya, karena itu adalah keyakinan, dan keyakinan tidak hilang
disebabkan keraguan, lain halnya jiak dia mendengar suara kentutnya atau
mencium baunya.
4. Tidur Berat
Hal yang
disepakati membalatkan wudhu adalah tidur berat dan panjang. Sebagaimana
tidurnya seseorang yang tidur di malam hari, kemudian dia bangun pagi. Sedangkan
yang berupa kantuk, maka dia tidak membatalkan wudhu, sebab itu adalah tidur
ringan.
عَنْ أَنَسِ ابْنِ مَالِكِ رَضِيَ اللهُ
عَنْهُ قَالَ: (كَانَ أَصْحَابُ رَسُوْلُ اللهِ ص.م عَلَى عَهْدِنِ يَنْتَظِرُوْنَ
الْعِشَاءَ حَتَّى تَحْفِقَ رَؤُسُهُمْ ثُمَّ يُصَلُّوْنَ وَلاَ يَتَوَضَّؤُنَ
(أَخْرَجَهُ أبُوْ دَاوُدَ وَصَحَّحَهُ الدَّارَ قُطْنِى وَاَصْلُهُ فِو مُسْلِمٍ
5. Bersentuhan
laki-laki dan perempuan yang boleh nikah yang sudah baligh dan berakal, dan
tidak ada penghalang keduanya.
6. Menyentuh
kemaluan dengan telapak tangan tanpa ada penghalang
2. Hadits Bertentangan
Tentang Wudhu Setiap Kali Shalat
1. Matan Hadits
yang bertentangan
a. Hadits Abu
Daud 44
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَوْفٍ الطَّائِيُّ
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ خَالِدٍ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ إِسْحَقَ عَنْ
مُحَمَّدِ بْنِ يَحْيَى بْنِ حَبَّانَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ
بْنِ عُمَرَ قَالَ قُلْتُ أَرَأَيْتَ تَوَضُّؤَ ابْنِ عُمَرَ لِكُلِّ صَلَاةٍ
طَاهِرًا وَغَيْرَ طَاهِرٍ عَمَّ ذَاكَ فَقَالَ حَدَّثَتْنِيهِ أَسْمَاءُ بِنْتُ
زَيْدِ بْنِ الْخَطَّابِ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ حَنْظَلَةَ بْنِ أَبِي عَامِرٍ
حَدَّثَهَاأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُمِرَ
بِالْوُضُوءِ لِكُلِّ صَلَاةٍ طَاهِرًا وَغَيْرَ طَاهِرٍ فَلَمَّا شَقَّ ذَلِكَ
عَلَيْهِ أُمِرَ بِالسِّوَاكِ لِكُلِّ صَلَاةٍ
فَكَانَ ابْنُ عُمَرَ يَرَى أَنَّ بِهِ قُوَّةً فَكَانَ
لَا يَدَعُ الْوُضُوءَ لِكُلِّ صَلَاةٍ قَالَ أَبُو دَاوُد إِبْرَاهِيمُ بْنُ
سَعْدٍ رَوَاهُ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ إِسْحَقَ قَالَ عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ عَبْدِ
اللَّهِ
(ABUDAUD - 44) :
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin 'Auf Ath Tha`i telah menceritakan
kepada kami Ahmad bin Khalid telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ishaq
dari Muhammad bin Yahya bin Hibban dari Abdullah bin Abdullah bin Umar,
Muhammad bin Yahya berkata; Saya bertanya kepada Abdullah bin Abdullah bin
Umar; "bagaimana anda melihat wudhunya Ibnu Umar di setiap shalat, baik dalam
keadaan suci ataupun tidak, dari sebab apa itu?" Maka dia menjawab; Telah
menceritakan kepada saya Asma` binti Zaid bin Al Khaththab bahwasanya Abdullah
bin Hanzhalah bin Abi Amir telah menceritakan kepadanya; bahwa Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam telah diperintahkan berwudhu untuk setiap kali
shalat baik dalam keadaan suci maupun tidak. Tatkala hal itu terasa berat bagi
beliau, maka beliau diperintahkan untuk bersiwak di setiap kali shalat. Namun
Ibnu Umar merasa bahwa dia kuat untuk melaksanakan hal itu, maka dia pun tidak
meninggalkan wudhu untuk setiap kali shalat. Abu Dawud berkata; Ibrahim bin
Sa'ad meriwayatkan hadits ini dari Muhammad bin Ishaq dia berkata; Ubaidullah
bin Abdullah (bukan Abdullah bin Abdullah).
b.
Hadits Ad Darimi 657[7]
:
أَخْبَرَنَا
عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ مُوسَى عَنْ سُفْيَانَ عَنْ عَلْقَمَةَ بْنِ مَرْثَدٍ عَنْ
ابْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَوَضَّأُ لِكُلِّ صَلَاةٍ حَتَّى كَانَ يَوْمُ فَتْحِ
مَكَّةَ صَلَّى الصَّلَوَاتِ بِوُضُوءٍ وَاحِدٍ وَمَسَحَ عَلَى خُفَّيْهِ فَقَالَ
لَهُ عُمَرُ رَأَيْتُكَ صَنَعْتَ شَيْئًا لَمْ تَكُنْ تَصْنَعُهُ قَالَ إِنِّي
عَمْدًا صَنَعْتُ يَا عُمَرُ قَالَ أَبُو مُحَمَّد فَدَلَّ فِعْلُ رَسُولِ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ مَعْنَى قَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى { إِذَا
قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ } الْآيَةَ لِكُلِّ مُحْدِثٍ
لَيْسَ لِلطَّاهِرِ وَمِنْهُ قَوْلُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
لَا وُضُوءَ إِلَّا مِنْ حَدَثٍ وَاللَّهُ أَعْلَمُ
(DARIMI - 657) :
Telah mengabarkan kepada kami Ubaidullah bin Musa dari Sufyan dari 'Alqamah bin
Martsad dari Ibnu Buraidah dari ayahnya ia berkata: "Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam selalu berwudhu untuk setiap shalatnya hingga hari
fathu Makkah (penaklukan kota Makkah), beliau shalat beberapa waktu shalat
dengan satu wudhu, dan beliau (cukup) mengusap kedua khufnya, lalu Umar
bertanya kepada beliau: 'Aku melihat kamu melakukan sesuatu yang belum pernah
kamu lakukan sebelumnya? ', beliau menjawab: 'Aku melakukan itu dengan sengaja
wahai Umar', Abu Muhammad berkata: 'Perbuatan Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam ini (menunjukkan) bahwa makna firman Allah subhanallahu wa ta'aa:
"IDZAA QUMTUM ILASSHALATI FAGHSILUU WUJUHAKUM" (Apabila kalian hendak
menunaikan shalat, hendaklah ia membasuh wajah kalian) -Qs. Al Ma`idah: 6- itu
untuk setiap orang yang berhadats dan bukan untuk orang yang masih suci, (yang
semakna) diantaranya sabdanya: 'Tidaklah wajib wudhu itu melainkan untuk orang
yang berhadats."
Disini ada
beberapa hadits penguat. Diantaranya:
a.
Hadits Tirmidzi 56:
حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدِيٍّ عَنْ
سُفْيَانَ عَنْ عَلْقَمَةَ بْنِ مَرْثَدٍ عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ
أَبِيهِ قَالَ كَانَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَوَضَّأُ لِكُلِّ صَلَاةٍ
فَلَمَّا كَانَ عَامُ الْفَتْحِ صَلَّى الصَّلَوَاتِ كُلَّهَا بِوُضُوءٍ وَاحِدٍ
وَمَسَحَ عَلَى خُفَّيْهِ فَقَالَ عُمَرُ إِنَّكَ فَعَلْتَ شَيْئًا لَمْ تَكُنْ
فَعَلْتَهُ قَالَ عَمْدًا فَعَلْتُهُ قَالَ
أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ وَرَوَى هَذَا الْحَدِيثَ عَلِيُّ بْنُ
قَادِمٍ عَنْ سُفْيَانَ الثَّوْرِيِّ وَزَادَ فِيهِ تَوَضَّأَ مَرَّةً مَرَّةً
قَالَ وَرَوَى سُفْيَانُ الثَّوْرِيُّ هَذَا الْحَدِيثَ أَيْضًا عَنْ مُحَارِبِ
بْنِ دِثَارٍ عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ بُرَيْدَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَتَوَضَّأُ لِكُلِّ صَلَاةٍ وَرَوَاهُ وَكِيعٌ عَنْ
سُفْيَانَ عَنْ مُحَارِبٍ عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ
وَرَوَاهُ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدِيٍّ وَغَيْرُهُ عَنْ سُفْيَانَ عَنْ
مُحَارِبِ بْنِ دِثَارٍ عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُرْسَلًا وَهَذَا أَصَحُّ مِنْ حَدِيثِ وَكِيعٍ
وَالْعَمَلُ عَلَى هَذَا عِنْدَ أَهْلِ الْعِلْمِ أَنَّهُ يُصَلِّي الصَّلَوَاتِ
بِوُضُوءٍ وَاحِدٍ مَا لَمْ يُحْدِثْ وَكَانَ بَعْضُهُمْ يَتَوَضَّأُ لِكُلِّ
صَلَاةٍ اسْتِحْبَابًا وَإِرَادَةَ الْفَضْلِ وَيُرْوَى عَنْ الْأَفْرِيقِيِّ عَنْ
أَبِي غُطَيْفٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ تَوَضَّأَ عَلَى طُهْرٍ كَتَبَ اللَّهُ لَهُ بِهِ عَشْرَ
حَسَنَاتٍ وَهَذَا إِسْنَادٌ ضَعِيفٌ وَفِي الْبَاب عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ
اللَّهِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى الظُّهْرَ
وَالْعَصْرَ بِوُضُوءٍ وَاحِد
(TIRMIDZI - 56) : telah menceritakan
kepada kami Muhammad bin Basysyar berkata, telah menceritakan kepada kami
Abdurrahman bin Mahdi dari Sufyan dari Alqamah bin Martsad dari Sulaiman bin
Buraidah dari Bapaknya ia berkata; "Nabi shallallahu 'alaihi wasallam
selalu berwudlu ketika akan shalat. Dan pada hari penaklukan kota Makkah,
beliau mengerjakan semua shalat dengan satu wudlu dan mengusap khufnya. Lalu
Umar berkata; "Sungguh, engkau melakukan sesuatu yang tidak biasa engkau
lakukan, " beliau menjawab: "Aku sengaja melakukannya." Abu Isa
berkata; "Hadits ini derajatnya hasan shahih." Ali bin Qadim
meriwayatkan hadits ini dari Sufyan Ats Tsauri, lalu ia menambahkan,
"Rasulullah berwudlu dengan satu kali-satu kali." Ia berkata;
"Dan Sufyan Ats Tsauri juga meriwayatkan hadits ini dari Muharib bin
Ditsar, dari Sulaiman bin Buraidah, dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam,
bahwasanya beliau selalu berwudlu ketika akan shalat. Dan Waki' meriwayatkannya
dari Sufyan, dari Muharib, dari Sulaiman bin Buraidah, dari bapaknya.
Abdurrahman bin Mahdi dan selainnya meriwayatkannya dari Sufyan, dari Muharib
bin Ditsar, dari Sulaiman bin Buraidah, dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam
secara mursal, dan ini lebih shahih dari hadits Waki'. Para ahli ilmu
mengamalkan hadits ini, yaitu bahwa Rasulullah melakukan beberapa shalat dengan
satu kali wudlu selama belum batal. Namun di antara mereka ada yang berwudlu
setiap kali akan mengerjakan shalat karena ada anjuran dan demi mendapatkan
keutamaan." Diriwayatkan pula dari Al Afriqi, dari Abu Ghuthaif, dari Ibnu
Umar dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda: "Barangsiapa
berwudlu dalam keadaan masih suci maka Allah akan menuliskan baginya sepuluh
kebaikan." Namun hadits ini sanadnya lemah. Dan dalam bab ini ada riwayat
dari Jabir bin Abdullah bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam shalat zhuhur
dan ashar dengan satu wudlu."
2.
Jalur Periwayatan
a. Hadits Abu
Daud 44
JALUR SANAD KE - 1






Nama Lengkap
|
Kalangan
|
Kunyah
|
Negeri Semasa Hidup
|
Wafat
|
|
Shahabat
|
Abu
'Abdur Rahman
|
Madinah
|
63 H
|
Asma'
binti Zaid bin Al Khaththab
|
Shahabiyah
|
|
|
|
Abdullah
bin 'Abdullah bin 'Umar bin Al Khaththab
|
Tabi'in
kalangan pertengahan
|
Abu
'Abdur Rahman
|
Madinah
|
105 H
|
Muhammad
bin Yahya bin Hibban
|
Tabi'ul
Atba' kalangan tua
|
Abu
'Abdullah
|
Madinah
|
121 H
|
Muhammad
bin Ishaq bin Yasar
|
Tabi'in
kalangan biasa
|
Abu Bakar
|
Madinah
|
150 H
|
Ahmad bin
Khalid
|
Tabi'ut
Tabi'in kalangan biasa
|
Abu Sa'id
|
|
214 H
|
Muhammad
bin 'Auf bin Sufyan
|
Tabi'ul
Atba' kalangan pertengahan
|
Abu
Ja'far
|
Syam
|
272 H
|
JALUR SANAD KE - 2





Nama Lengkap
|
Kalangan
|
Kun’yah
|
Negeri Semasa Hidup
|
Wafat
|
Abdullah
bin Hanzhalah bin Abi 'Amir
|
Shahabat
|
Abu
'Abdur Rahman
|
Madinah
|
63 H
|
Asma'
binti Zaid bin Al Khaththab
|
Shahabiyah
|
|
|
|
Ubaidullah
bin 'Abdullah bin 'Umar bin Al Khaththab
|
Tabi'in
kalangan pertengahan
|
Abu Bakar
|
Madinah
|
|
Muhammad
bin Yahya bin Hibban
|
Tabi'ul
Atba' kalangan tua
|
Abu
'Abdullah
|
Madinah
|
121 H
|
Muhammad
bin Ishaq bin Yasar
|
Tabi'in
kalangan biasa
|
Abu Bakar
|
Madinah
|
150 H
|
Ibrahim
bin Sa'ad bin Ibrahim bin 'Abdur Rahman bin 'Auf
|
Tabi'ut
Tabi'in kalangan pertengahan
|
Abu Ishaq
|
Madinah
|
185 H
|
b.
Hadits Ad Darimi 657:
JALUR SANAD KE - 1




Nama
Lengkap
|
Kalangan
|
Kun’yah
|
Negeri Semasa Hidup
|
Wafat
|
Buraidah
bin Al Hashib bin 'Abdullah bin Al Harits
|
Shahabat
|
Abu Sahal
|
Bashrah
|
63 H
|
Sulaiman
bin Buraidah bin Al Hashib
|
Tabi'in
kalangan pertengahan
|
|
Himsh
|
105 H
|
Alqamah
bin Martsad
|
Tabi'in
(tdk jumpa Shahabat)
|
Abu Al
Harits
|
Kufah
|
|
Sufyan
bin Sa'id bin Masruq
|
Tabi'ut
Tabi'in kalangan tua
|
Abu
'Abdullah
|
Kufah
|
161 H
|
Ubaidullah
bin Musa bin Abi Al Mukhtar Badzam
|
Tabi'ut
Tabi'in kalangan biasa
|
Abu Muhammad
|
Kufah
|
213 H
|
Selain
itu, salah satu alasan umat muslim harus mengetahui kedudukan hadits yang disampaikan
Rassulullah SAW seperti contoh yang dikemukakan oleh Prof. Dr. Tajul Arifin, MA.
Bahwa kaum orientalis memanfaatkan kejadian ini, mereka mengecam bahwa
Rassulullah SAW telah bertindak kasar terhadap gadis yang masih belia, dan juga
mereka juga mencemooh bahwa Rasullulah SAW memiliki gangguan seksual dan banya
bergairah kepada gadis yang masih belia. Mereka menjuluki Rasullulah SAW dengan
julukan pedophile, padahal fakta dan opini disini sangatlah bertolak belakang,
karena Rasulullah SAW menikahi Aisyah RA berasarkan dengan wahyu, bukan dengan
nafsu.
Dalam pembahsan yang berjudul The
Most Popular Methodology to analyze the Validity of Hadits, Beliau juga
menyertakan hal yang paling masyhur untuk meneliti validitas suatu hadits,
yaitu hadits sahih dan dapat dipilih dari ke empat aspek ini :
1.
Ittishal al-Sanad (bersambungnya
sanad)
2.
La Yakunu Syadzan (tidak
ditemukan keanehan)
3.
La Yakunu mu’allalan (tidak
ditemukan hal yang cacat)
4.
‘Adalat wa Dhabt al-Ruwwah
(kejujuran dan ketetapan perawi)[8]
3.
Penyelesaian
Yang dimaksud
hadits-hadits mukhtalif adalah hadits sahih atau hadits hasan yang secara
lahiriah tampak saling bertentangan hadits sahih atau hadits hasan lainnya.
Namun makna yang sebenarnya atau maksud yang dituju oleh hadits-hadits tersebut
tidaklah bertentangan karena satu dengan lainnya sebenarnya apat dikompromikan
atau dicari penyelesaiannya dalam bentuk naskh atau tarjih.
Jadi dalam
kajian ikhtilaf al hadits membahas hadits-hadits yang secara lahiriah saling
bertentangan (kontradiksi), untuk menghilangkan pertentangan itu harus
mengkompromikan keduanya sebagaimana halnya membahas hadits-hadits yang sukar
dipahami atau diambil isinya, untuk menghilangkan kesukarannya dan menjelaskan
hakikatnya.
Berkaitan dengan
ikhtilaf al-hadits adalah mengapa sebagaimana hadits Nabi Muhammad SAW itu
tampak saling bertentangan? Dalam hal ini, ada empat faktor yang menyebabkan
hadits-hadits tampak saling bertentangan diantaranya:
1.
Faktor internal hadits (al-amil
al-dakhili) yakni menyangkut internal redaksi teks hadits yang memang terkesan
bertentangan.jika kontradiksi ini benar-benar terjadi, maka biasnya karena
hadits tersebut ada ‘illat (cacat) yang menyebabkan hadits tersebut menjadi
dha’if (lemah). Dan ketika itu jelas bahwa hadits yang lemah tersebut harus
ditolak, terutama ketika bertentangan dengan hadits yang sahih. [9]
2.
Faktor Eksternal (al-amil al-
khariji) yakni fkator yang disebabkan oleh konteks dimana Nabi Muhammad SAW menyampaikn
hadits dan kepada siapa beliau berbicara. Biasanya hadits-hadits yang tampak
bertentangan seperti ini masih bisa di kompromikan dan diletakan sesuai dengan
konteks masing-masing, sehingga kedua-duanya bisa diamalkan. Termasuk dalam
kategori faktor eksternal adalah konteks waktu dan tempat (geografis) domana
Nabi Muhammad SAW menyampaikan hadits.[10]
3.
Faktor metodologi (al-bu’du
al-manhaji), yakni berkaitan dengan proses dan cara seseorang memahami hadits
tersebut. Ada sebagian hadits dianggap bertentangan dengan hadits lain, atau
dengan akal (ilmu pengetahuan), karena hadits tersebut dipahami secara
tektualis. Padahal jika hadits tersebut dipahami dengan konstektual, misalnya
dengan metode ta’wil, kesan pertentangan tersebut akan hilang.
4.
Faktor ideologi (al-bu’du
al-madzhabi)
Berkaitan dengan ideologi atau madzhab
seseorang ketika memahami suatu hadits. Suatu hadits dinilai bertentangan
dengan hadits lain yang menjadi dasar ideologi madzhab atau aliran tertentu.
Solusi terhadap hadits-hadits yang
tampk bertentangan disebabkan oleh faktor ideologi adalah bagaimana “mengurung
diri”, kemudian mengumpulkan hadits-hadits tertentu secara kritis, sehingga
akan menghasilkan kesimulan secara relatif lebih objektif dan intersubjektif.
Pertentangan yang terjadi pada hadits-hadits mukhtalif bersifat lahir, bukan
hakiki. Hal ini tentu saja berangkat dari asumsi yang sangat kuat bahwa tidak
mungkin terjadi pertentangan yang sangat kuat antara hadits-hadits yang
sumbernya sama yaitu Rasulullah SAW.
Rasulullah diyakini tidak mungkin
akan mengajarkan dua hal yang saling bertentangan dengan umatnya. Tidak mungkin
beliau memerintahkan umatnya agar berbuat sesuatu, namun bersamaan dengan itu
juga memerintahkan agar jangan memperbuatnya karena dalam hal ini berarti tidak
ada kepastian hukum.
Daftar
Pustaka
Al-Asqalani,
Al Imam Al Hafizh, Ibnu Hajar Fathul Baari Syarah Shahih Al-Bukhari Cet. I. Jakarta Selatan: Pustaka Azam.
2001
Al-Jamal
Ibrahim Muhammad. Fiqih Muslimah. Jakarta:
Pustaka Amani. 1999.
Al-Thoyaar,
Abdullah bin Muhammad. Risalah fi Al-Fiqh. Al-Muyassar
Cet I. Riyadh: Madar Al Watoni lin Nasyr. Tt
Al-Utsaimin,
Syaikh Muhammad bin Shalih. Al-Nihayah fi Ghorib Al-Hadits wal atsar Cet. 5. Mesir: Jannatul Afkar. 2008.
Al-Utsaimin, Syaikh Muhammad bin Shalih. Al-Nihayah fi Ghorib Al-Hadits
wal atsar Cet. 5.
Mesir: Jannatul Afkar. 2008.
Dr.
Yusuf Al Quradhawi. Fikih Thaharah (Jln.
Cipinang Muara Raya No. 63 Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar, 2004), 2007-231
[1] Ad Darimi, Sunan
Ad Darimi (Versi Kitab 9 Indonesia), kitab Taharah, bab jika kalian shalat
basuhlah wajah kalian, no hadits 657.
Prof. Dr. Tajul
Arifin , MA. 2009, The Aplication Of “Unity Theory” In Understanding Matan
Of Al-Hadits And Determining Its Validity , A Critique To The Critique Of
Orientalists. Bandung: UIN Sunan Gunung Djati
PDF Terjemah,
“Sahih Bukhari 1001”, da’wahrights, (http://abinyazahid.muliply.com), 2
Desember 2014, h.350.
PDF Terjemah,
“Sahih Bukhari 1001”, da’wahrights, (http://abinyazahid.muliply.com), 2
Desember 2014, h.413.
[1] Penulis adalah Mahasiswi
semester IV Jurusan Perbandingan Madzhab dan Hukum Fakultas Syari’ah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung. Seluruh Korespondensi tentang isi makalah
ini dapat dialamatkan kepada : ervinamardiani@gmail.com
atau ke 081911953548.
[2] Al-Asqalani,
Al Imam Al Hafizh, Ibnu Hajar Fathul Baari Syarah Shahih Al-Bukhari Cet. I. Jakarta Selatan: Pustaka Azam.
2001
[3] Al-Jamal
Ibrahim Muhammad. Fiqih Muslimah. Jakarta:
Pustaka Amani. 1999.
[4]
Al-Thoyaar,
Abdullah bin Muhammad. Risalah fi Al-Fiqh. Al-Muyassar
Cet I. Riyadh: Madar Al Watoni lin Nasyr. tt
[5] Al-Utsaimin,
Syaikh Muhammad bin Shalih. Al-Nihayah fi Ghorib Al-Hadits wal atsar Cet. 5. Mesir: Jannatul Afkar. 2008.
[6]
Dr. Yusuf
Al Quradhawi. Fikih Thaharah (Jln.
Cipinang Muara Raya No. 63 Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar, 2004), 2007-231
[7] Ad Darimi, Sunan Ad Darimi
(Versi Kitab 9 Indonesia), kitab Taharah, bab jika kalian shalat basuhlah wajah
kalian, no hadits 657.
[8][8]
Prof. Dr. Tajul Arifin ,
MA. 2009, The Aplication Of “Unity Theory” In Understanding Matan Of
Al-Hadits And Determining Its Validity , A Critique To The Critique Of
Orientalists. Bandung: UIN Sunan Gunung Djati
[9] PDF Terjemah, “Sahih Bukhari
1001”, da’wahrights, (http://abinyazahid.muliply.com),
2 Desember 2014, h.350.
[10] PDF Terjemah, “Sahih Bukhari
1001”, da’wahrights, (http://abinyazahid.muliply.com),
2 Desember 2014, h.413.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar