Senin, 05 Juni 2017

APLIKASI TEORI MEMAHAMI WUDHU SETIAP KALI SHALAT DAN MENENTUKAN VALIDITASNYA

APLIKASI TEORI MEMAHAMI WUDHU SETIAP KALI SHALAT DAN MENENTUKAN VALIDITASNYA
OLEH :
Ervina Mardiani[1]
A.    Pendahuluan
Manusia sebagai makhluk sosial tidak akan pernah lepas dari pergaulan antar sesama dan hubungan dengan sang pencipta. Sebagai makhluk yang berakal, sudah selayaknya ketika menghadap Tuhannya harus mematuhi rambu-rambu yang digariskan oleh syara’. Bahkan, ketika bermunajat dengan Sang Khaliq pun, harus diperhatikan aturan mainnya, diantaranya adalah dengan melakukan thaharah sebagai mediator dalam beribadah kepaad Alloh.
Setiap  kegiatan ibadah umat Islam pasti melakukan membersihkan (thaharah) terlebih dahulu mulai dari wuhdu. Wudhu adalah sebuah syariat kesucian yang Allah ‘azza Wa Jalla tetapkan kepada kaum muslimin. Sebagai pendahuluan bagi shalat dan ibadah lainnya. Di dalamnya terkandung sebuah hikmah yang mengisyaratkan kepada kita bahwa hendaknya seorang muslim memulai ibadah dan kehidupannya dengan kesucian lahir batin. Sebab kata ini sendiri berasal dari kata yang mengandung makna “kebersihan dan keindahan”.
Wudhu disyariatkan bukan hanya ketika kita hendak beribadah, bahkan juga disyariatkan pada seluruh kondisi. Oleh karena itu, seorang muslim dianjurkan agar selalu dalam kondisi bersuci (wudhu) sebagaimana yang dahulu yang dilazimi oleh Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya yang mulia. Mereka senantiasa berwudhu, baik dalam keadaan senang ataupun susah dan kurang menyenangkan (seperti saat muslim hujan dan dingin).
B.     Pembahasan
1.      Pengertian dan Hukum Dasar Wudhu
Al Imam Ibnu Atsir Al-Jazary rohimahumullah (seorang ahli bahasa) menjelaskan bahwa jika dikatakan wadhu’(اَلْوَضُوءْ), maka yang dimaksud adalah air yang digunakan berwudhu. Bila dikatakan wudhu (الُوضُوءْ), maka yang diinginkan di situ adalah perbuatannya. Jadi, wudhu adalah perbuatan sedang wadhu adalah air wudhu.[2]
Al-Hafizh Ibnu Hajar Asy-Syafi’iy rohimahulloh, kata wudhu terambil dari kata al-wadho’ah / kesucian (اَلْوَضُوءْ). Wudhu disebut demikian, karena orang yang sholat membersihkan diri dengannya. Akhirnya, ia menjadi orang yang suci.”[3]

Rukun Wudhu dalam kitab Fathul Mu’in disebutjkan ada 6 hal yang menjadi rukun wudhu:[4]
1.      Niat fardhu nya wudhu ketika pertama kali membasuh wajah
2.      Membasuh wajah
3.      Membasuh kedua tangan dari telapak dan lengan sampai siku
4.      Membasuh sebagian kepala
5.      Membasuh kedua kaki beserta kedua mata kaki
6.      Tertib
Dan terdapat perbedaan pendapat ketika menyebutkan rukun wudhu. Ada yang menyebutkan 4 saja, sebagaimana yang tercantum dalam ayat Qur’an, namun ada juga yang menambahinya dengan berdasarkan dalil dari sunnah.[5] 4 (empat) rukun menurut Al-Hanafiyah mengatakan bahwa rukun wudhu itu hanya ada 4 sebagamana yang disebutkan dalam Nash Qur’an. 7 (tujuh) rukun menurut Al-Malikiyah menambahkan dengan keharusan niat, ad-dalk yaitu menggosok anggota wudhu, sebab menurut beliau sekedar mengguyur anggota wudhu dengan air masih belum bermakna mencuci atau membasuh, juga beliau menambahkan kewajiban muwalat. 6 (enam) rukun menurut As-Syafi’iyah menambahnya dengan niat pembasuhan dan usapan dengan urut, tidak boleh terbolak balik. Istilah yang beliau gunakan adalah harus tertib. 7 (tujuh) rukun menurut Al-Hanabilah mengatakan bahwa harus niat, tertib dan muwalat, yaitu berkesinambungan. Maka tidak boleh terjadi jeda antara satu anggota dengan anggota yang lain yang sampai membuatnya kering dari basahnya air bekas wudhu.
Adapun Syarat-syarat Wudhu yaitu:
1.      Menggunakan air mutlaq.
2.      Mengalirkan air di atas anggota yang dibasuh.
3.      Tidak ada sesuatu pada anggota yang dapat mengubah air, yaitu perubahan yang merusakkan nama air mutlak itu.
4.      Pada anggota wudhu, tidak ada sesuatu yang menghalangi antara air dan anggota yang dibasuh
5.      Dilakukan sesudah masuk waktu shalat bagi orang yang selalu berhadats.

Hal-hal yang membatalkan Wudhu
1.      Kencing dan Buang Air Besar
Hal yang membatalkan wudhu dan disepakati bersama adalah keluarnya kencing dan tinja dari seseorang. Tentang batalnya wudhu karena kencing dan tinja adalah sesuatu yang sudah sangat diketahui dan disepakati dan sudah jelas tidak memerlukan dalil untuk menjelaskannya.
2.      Madzi dan Wadi
Termasuk yang membatalkan yang keluar dari kemaluan depan seorang laki-laki adalah madzi dan wadi.
Madzi adalah sesuatu yang keluar dari penis seseorang lelaki setelah dia bercumbu, melihat atau berpikir mengenai seks. Dia adalah air yang kental yang keluar dengan cara mengalir dan tidak memancar laksana mani.
Sedangkan wadi adalah air berwarna putih yang keluar setelah buang air kecil.Keduanya membatalkan wudhu laksana kencing, dan tidak ada kewajiban apa-apa lagi bagi seseorang yang keluar madzi dan wadi kecuali istinja’ dan wudhu.
3.      Keluarnya Angin dari Anus
Dalam riwayat Al-Bukhari dan Muslim disebutkan dari Abu Hurairah, bahwa Rosululloh SAW bersabda:
لاَيَقْبَلُ اللهَ صَلاَةَ اَحَدُكُمْ إِذَا أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّاءَ

Artinya: Allah tidak menerima shalat salah seorang dia nataramu bila ia berhadats, sehingga ia berwudhu”. Abu Hurairah menafsirkan kata “hadats”, di sini ada orang bertanya kepadanya: “apa yang dimaksud dengan hadats”? Dia berkata: kentut yang tidak ada suaranya dan kentut yang ada suaranya.Dalam riwayat Al-Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Zaid dari Ashim Al-Anshari, bahwa dia mengadukan sesuatu kepada Rasulullah tentang seseorang yang ragu merasakan sesuatu pada saat shalat yakni dia merasakan ada angin keluar dari anusnya, maka Rasulullah SAW bersabda:
لاَيَنْفَتِلْ أَوْ لاَ يَنْصَرِفْ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَرِيْحًا
“Janganlah dia berhenti (berpaling) hingga dia mendengar bunyi atau dia mencium bau”.[6]
Artinya, dia masih tetap berada dalam keadaan suci dan dalam wudhunya, karena itu adalah keyakinan, dan keyakinan tidak hilang disebabkan keraguan, lain halnya jiak dia mendengar suara kentutnya atau mencium baunya.
4.      Tidur Berat
Hal yang disepakati membalatkan wudhu adalah tidur berat dan panjang. Sebagaimana tidurnya seseorang yang tidur di malam hari, kemudian dia bangun pagi. Sedangkan yang berupa kantuk, maka dia tidak membatalkan wudhu, sebab itu adalah tidur ringan.
عَنْ أَنَسِ ابْنِ مَالِكِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: (كَانَ أَصْحَابُ رَسُوْلُ اللهِ ص.م عَلَى عَهْدِنِ يَنْتَظِرُوْنَ الْعِشَاءَ حَتَّى تَحْفِقَ رَؤُسُهُمْ ثُمَّ يُصَلُّوْنَ وَلاَ يَتَوَضَّؤُنَ (أَخْرَجَهُ أبُوْ دَاوُدَ وَصَحَّحَهُ الدَّارَ قُطْنِى وَاَصْلُهُ فِو مُسْلِمٍ
5.      Bersentuhan laki-laki dan perempuan yang boleh nikah yang sudah baligh dan berakal, dan tidak ada penghalang keduanya.
6.      Menyentuh kemaluan dengan telapak tangan tanpa ada penghalang
2.      Hadits Bertentangan Tentang Wudhu Setiap Kali Shalat
1.      Matan Hadits yang bertentangan
a.       Hadits Abu Daud 44
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَوْفٍ الطَّائِيُّ حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ خَالِدٍ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ إِسْحَقَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ يَحْيَى بْنِ حَبَّانَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ قَالَ قُلْتُ أَرَأَيْتَ تَوَضُّؤَ ابْنِ عُمَرَ لِكُلِّ صَلَاةٍ طَاهِرًا وَغَيْرَ طَاهِرٍ عَمَّ ذَاكَ فَقَالَ حَدَّثَتْنِيهِ أَسْمَاءُ بِنْتُ زَيْدِ بْنِ الْخَطَّابِ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ حَنْظَلَةَ بْنِ أَبِي عَامِرٍ حَدَّثَهَاأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُمِرَ بِالْوُضُوءِ لِكُلِّ صَلَاةٍ طَاهِرًا وَغَيْرَ طَاهِرٍ فَلَمَّا شَقَّ ذَلِكَ عَلَيْهِ أُمِرَ بِالسِّوَاكِ لِكُلِّ صَلَاةٍ
فَكَانَ ابْنُ عُمَرَ يَرَى أَنَّ بِهِ قُوَّةً فَكَانَ لَا يَدَعُ الْوُضُوءَ لِكُلِّ صَلَاةٍ قَالَ أَبُو دَاوُد إِبْرَاهِيمُ بْنُ سَعْدٍ رَوَاهُ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ إِسْحَقَ قَالَ عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ
(ABUDAUD - 44) : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin 'Auf Ath Tha`i telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Khalid telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ishaq dari Muhammad bin Yahya bin Hibban dari Abdullah bin Abdullah bin Umar, Muhammad bin Yahya berkata; Saya bertanya kepada Abdullah bin Abdullah bin Umar; "bagaimana anda melihat wudhunya Ibnu Umar di setiap shalat, baik dalam keadaan suci ataupun tidak, dari sebab apa itu?" Maka dia menjawab; Telah menceritakan kepada saya Asma` binti Zaid bin Al Khaththab bahwasanya Abdullah bin Hanzhalah bin Abi Amir telah menceritakan kepadanya; bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah diperintahkan berwudhu untuk setiap kali shalat baik dalam keadaan suci maupun tidak. Tatkala hal itu terasa berat bagi beliau, maka beliau diperintahkan untuk bersiwak di setiap kali shalat. Namun Ibnu Umar merasa bahwa dia kuat untuk melaksanakan hal itu, maka dia pun tidak meninggalkan wudhu untuk setiap kali shalat. Abu Dawud berkata; Ibrahim bin Sa'ad meriwayatkan hadits ini dari Muhammad bin Ishaq dia berkata; Ubaidullah bin Abdullah (bukan Abdullah bin Abdullah).
b.      Hadits Ad Darimi 657[7] :
أَخْبَرَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ مُوسَى عَنْ سُفْيَانَ عَنْ عَلْقَمَةَ بْنِ مَرْثَدٍ عَنْ ابْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَوَضَّأُ لِكُلِّ صَلَاةٍ حَتَّى كَانَ يَوْمُ فَتْحِ مَكَّةَ صَلَّى الصَّلَوَاتِ بِوُضُوءٍ وَاحِدٍ وَمَسَحَ عَلَى خُفَّيْهِ فَقَالَ لَهُ عُمَرُ رَأَيْتُكَ صَنَعْتَ شَيْئًا لَمْ تَكُنْ تَصْنَعُهُ قَالَ إِنِّي عَمْدًا صَنَعْتُ يَا عُمَرُ قَالَ أَبُو مُحَمَّد فَدَلَّ فِعْلُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ مَعْنَى قَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى { إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ } الْآيَةَ لِكُلِّ مُحْدِثٍ لَيْسَ لِلطَّاهِرِ وَمِنْهُ قَوْلُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا وُضُوءَ إِلَّا مِنْ حَدَثٍ وَاللَّهُ أَعْلَمُ
(DARIMI - 657) : Telah mengabarkan kepada kami Ubaidullah bin Musa dari Sufyan dari 'Alqamah bin Martsad dari Ibnu Buraidah dari ayahnya ia berkata: "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam selalu berwudhu untuk setiap shalatnya hingga hari fathu Makkah (penaklukan kota Makkah), beliau shalat beberapa waktu shalat dengan satu wudhu, dan beliau (cukup) mengusap kedua khufnya, lalu Umar bertanya kepada beliau: 'Aku melihat kamu melakukan sesuatu yang belum pernah kamu lakukan sebelumnya? ', beliau menjawab: 'Aku melakukan itu dengan sengaja wahai Umar', Abu Muhammad berkata: 'Perbuatan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam ini (menunjukkan) bahwa makna firman Allah subhanallahu wa ta'aa: "IDZAA QUMTUM ILASSHALATI FAGHSILUU WUJUHAKUM" (Apabila kalian hendak menunaikan shalat, hendaklah ia membasuh wajah kalian) -Qs. Al Ma`idah: 6- itu untuk setiap orang yang berhadats dan bukan untuk orang yang masih suci, (yang semakna) diantaranya sabdanya: 'Tidaklah wajib wudhu itu melainkan untuk orang yang berhadats."
Disini ada beberapa hadits penguat. Diantaranya:
a.       Hadits Tirmidzi 56:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدِيٍّ عَنْ سُفْيَانَ عَنْ عَلْقَمَةَ بْنِ مَرْثَدٍ عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَوَضَّأُ لِكُلِّ صَلَاةٍ فَلَمَّا كَانَ عَامُ الْفَتْحِ صَلَّى الصَّلَوَاتِ كُلَّهَا بِوُضُوءٍ وَاحِدٍ وَمَسَحَ عَلَى خُفَّيْهِ فَقَالَ عُمَرُ إِنَّكَ فَعَلْتَ شَيْئًا لَمْ تَكُنْ فَعَلْتَهُ قَالَ عَمْدًا فَعَلْتُهُ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ وَرَوَى هَذَا الْحَدِيثَ عَلِيُّ بْنُ قَادِمٍ عَنْ سُفْيَانَ الثَّوْرِيِّ وَزَادَ فِيهِ تَوَضَّأَ مَرَّةً مَرَّةً قَالَ وَرَوَى سُفْيَانُ الثَّوْرِيُّ هَذَا الْحَدِيثَ أَيْضًا عَنْ مُحَارِبِ بْنِ دِثَارٍ عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ بُرَيْدَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَتَوَضَّأُ لِكُلِّ صَلَاةٍ وَرَوَاهُ وَكِيعٌ عَنْ سُفْيَانَ عَنْ مُحَارِبٍ عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ وَرَوَاهُ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدِيٍّ وَغَيْرُهُ عَنْ سُفْيَانَ عَنْ مُحَارِبِ بْنِ دِثَارٍ عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُرْسَلًا وَهَذَا أَصَحُّ مِنْ حَدِيثِ وَكِيعٍ وَالْعَمَلُ عَلَى هَذَا عِنْدَ أَهْلِ الْعِلْمِ أَنَّهُ يُصَلِّي الصَّلَوَاتِ بِوُضُوءٍ وَاحِدٍ مَا لَمْ يُحْدِثْ وَكَانَ بَعْضُهُمْ يَتَوَضَّأُ لِكُلِّ صَلَاةٍ اسْتِحْبَابًا وَإِرَادَةَ الْفَضْلِ وَيُرْوَى عَنْ الْأَفْرِيقِيِّ عَنْ أَبِي غُطَيْفٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ تَوَضَّأَ عَلَى طُهْرٍ كَتَبَ اللَّهُ لَهُ بِهِ عَشْرَ حَسَنَاتٍ وَهَذَا إِسْنَادٌ ضَعِيفٌ وَفِي الْبَاب عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى الظُّهْرَ وَالْعَصْرَ بِوُضُوءٍ وَاحِد
(TIRMIDZI - 56) : telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basysyar berkata, telah menceritakan kepada kami Abdurrahman bin Mahdi dari Sufyan dari Alqamah bin Martsad dari Sulaiman bin Buraidah dari Bapaknya ia berkata; "Nabi shallallahu 'alaihi wasallam selalu berwudlu ketika akan shalat. Dan pada hari penaklukan kota Makkah, beliau mengerjakan semua shalat dengan satu wudlu dan mengusap khufnya. Lalu Umar berkata; "Sungguh, engkau melakukan sesuatu yang tidak biasa engkau lakukan, " beliau menjawab: "Aku sengaja melakukannya." Abu Isa berkata; "Hadits ini derajatnya hasan shahih." Ali bin Qadim meriwayatkan hadits ini dari Sufyan Ats Tsauri, lalu ia menambahkan, "Rasulullah berwudlu dengan satu kali-satu kali." Ia berkata; "Dan Sufyan Ats Tsauri juga meriwayatkan hadits ini dari Muharib bin Ditsar, dari Sulaiman bin Buraidah, dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, bahwasanya beliau selalu berwudlu ketika akan shalat. Dan Waki' meriwayatkannya dari Sufyan, dari Muharib, dari Sulaiman bin Buraidah, dari bapaknya. Abdurrahman bin Mahdi dan selainnya meriwayatkannya dari Sufyan, dari Muharib bin Ditsar, dari Sulaiman bin Buraidah, dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam secara mursal, dan ini lebih shahih dari hadits Waki'. Para ahli ilmu mengamalkan hadits ini, yaitu bahwa Rasulullah melakukan beberapa shalat dengan satu kali wudlu selama belum batal. Namun di antara mereka ada yang berwudlu setiap kali akan mengerjakan shalat karena ada anjuran dan demi mendapatkan keutamaan." Diriwayatkan pula dari Al Afriqi, dari Abu Ghuthaif, dari Ibnu Umar dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda: "Barangsiapa berwudlu dalam keadaan masih suci maka Allah akan menuliskan baginya sepuluh kebaikan." Namun hadits ini sanadnya lemah. Dan dalam bab ini ada riwayat dari Jabir bin Abdullah bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam shalat zhuhur dan ashar dengan satu wudlu."
2.      Jalur Periwayatan
a.       Hadits Abu Daud 44

JALUR SANAD KE - 1

Urutan Sanad
Urutan Sanad
Urutan Sanad
Urutan Sanad
Urutan Sanad
Urutan Sanad
Nama Lengkap
Kalangan
Kunyah
Negeri Semasa Hidup
Wafat

Shahabat
Abu 'Abdur Rahman
Madinah
63 H
Asma' binti Zaid bin Al Khaththab
Shahabiyah



Abdullah bin 'Abdullah bin 'Umar bin Al Khaththab
Tabi'in kalangan pertengahan
Abu 'Abdur Rahman
Madinah
105 H
Muhammad bin Yahya bin Hibban
Tabi'ul Atba' kalangan tua
Abu 'Abdullah
Madinah
121 H
Muhammad bin Ishaq bin Yasar
Tabi'in kalangan biasa
Abu Bakar
Madinah
150 H
Ahmad bin Khalid
Tabi'ut Tabi'in kalangan biasa
Abu Sa'id

214 H
Muhammad bin 'Auf bin Sufyan
Tabi'ul Atba' kalangan pertengahan
Abu Ja'far
Syam
272 H



JALUR SANAD KE - 2

Urutan Sanad
Urutan Sanad
Urutan Sanad
Urutan Sanad
Urutan Sanad
Nama Lengkap
Kalangan
Kun’yah
Negeri Semasa Hidup
Wafat
Abdullah bin Hanzhalah bin Abi 'Amir
Shahabat
Abu 'Abdur Rahman
Madinah
63 H
Asma' binti Zaid bin Al Khaththab
 Shahabiyah



Ubaidullah bin 'Abdullah bin 'Umar bin Al Khaththab
Tabi'in kalangan pertengahan
Abu Bakar
Madinah

Muhammad bin Yahya bin Hibban
Tabi'ul Atba' kalangan tua
Abu 'Abdullah
Madinah
121 H
Muhammad bin Ishaq bin Yasar
Tabi'in kalangan biasa
Abu Bakar
Madinah
150 H
Ibrahim bin Sa'ad bin Ibrahim bin 'Abdur Rahman bin 'Auf
 Tabi'ut Tabi'in kalangan pertengahan
Abu Ishaq
Madinah
185 H
b.      Hadits Ad Darimi 657:
JALUR SANAD KE - 1

Urutan Sanad
Urutan Sanad
Urutan Sanad
Urutan Sanad

Nama Lengkap
Kalangan
Kun’yah
Negeri Semasa Hidup
Wafat
Buraidah bin Al Hashib bin 'Abdullah bin Al Harits
Shahabat
Abu Sahal
Bashrah
 63 H
Sulaiman bin Buraidah bin Al Hashib
Tabi'in kalangan pertengahan

Himsh
105 H
Alqamah bin Martsad
Tabi'in (tdk jumpa Shahabat)
Abu Al Harits
 Kufah

Sufyan bin Sa'id bin Masruq
Tabi'ut Tabi'in kalangan tua
 Abu 'Abdullah
Kufah
 161 H
 Ubaidullah bin Musa bin Abi Al Mukhtar Badzam
Tabi'ut Tabi'in kalangan biasa
 Abu Muhammad
 Kufah
213 H
            Selain itu, salah satu alasan umat muslim harus mengetahui kedudukan hadits yang disampaikan Rassulullah SAW seperti contoh yang dikemukakan oleh Prof. Dr. Tajul Arifin, MA. Bahwa kaum orientalis memanfaatkan kejadian ini, mereka mengecam bahwa Rassulullah SAW telah bertindak kasar terhadap gadis yang masih belia, dan juga mereka juga mencemooh bahwa Rasullulah SAW memiliki gangguan seksual dan banya bergairah kepada gadis yang masih belia. Mereka menjuluki Rasullulah SAW dengan julukan pedophile, padahal fakta dan opini disini sangatlah bertolak belakang, karena Rasulullah SAW menikahi Aisyah RA berasarkan dengan wahyu, bukan dengan nafsu.
Dalam pembahsan yang berjudul The Most Popular Methodology to analyze the Validity of Hadits, Beliau juga menyertakan hal yang paling masyhur untuk meneliti validitas suatu hadits, yaitu hadits sahih dan dapat dipilih dari ke empat aspek ini :
1.      Ittishal al-Sanad (bersambungnya sanad)
2.      La Yakunu Syadzan (tidak ditemukan keanehan)
3.      La Yakunu mu’allalan (tidak ditemukan hal yang cacat)
4.      Adalat wa Dhabt al-Ruwwah (kejujuran dan ketetapan perawi)[8]
3.      Penyelesaian
Yang dimaksud hadits-hadits mukhtalif adalah hadits sahih atau hadits hasan yang secara lahiriah tampak saling bertentangan hadits sahih atau hadits hasan lainnya. Namun makna yang sebenarnya atau maksud yang dituju oleh hadits-hadits tersebut tidaklah bertentangan karena satu dengan lainnya sebenarnya apat dikompromikan atau dicari penyelesaiannya dalam bentuk naskh atau tarjih.
Jadi dalam kajian ikhtilaf al hadits membahas hadits-hadits yang secara lahiriah saling bertentangan (kontradiksi), untuk menghilangkan pertentangan itu harus mengkompromikan keduanya sebagaimana halnya membahas hadits-hadits yang sukar dipahami atau diambil isinya, untuk menghilangkan kesukarannya dan menjelaskan hakikatnya.
Berkaitan dengan ikhtilaf al-hadits adalah mengapa sebagaimana hadits Nabi Muhammad SAW itu tampak saling bertentangan? Dalam hal ini, ada empat faktor yang menyebabkan hadits-hadits tampak saling bertentangan diantaranya:
1.      Faktor internal hadits (al-amil al-dakhili) yakni menyangkut internal redaksi teks hadits yang memang terkesan bertentangan.jika kontradiksi ini benar-benar terjadi, maka biasnya karena hadits tersebut ada ‘illat (cacat) yang menyebabkan hadits tersebut menjadi dha’if (lemah). Dan ketika itu jelas bahwa hadits yang lemah tersebut harus ditolak, terutama ketika bertentangan dengan hadits yang sahih. [9]
2.      Faktor Eksternal (al-amil al- khariji) yakni fkator yang disebabkan oleh konteks dimana Nabi Muhammad SAW menyampaikn hadits dan kepada siapa beliau berbicara. Biasanya hadits-hadits yang tampak bertentangan seperti ini masih bisa di kompromikan dan diletakan sesuai dengan konteks masing-masing, sehingga kedua-duanya bisa diamalkan. Termasuk dalam kategori faktor eksternal adalah konteks waktu dan tempat (geografis) domana Nabi Muhammad SAW menyampaikan hadits.[10]
3.      Faktor metodologi (al-bu’du al-manhaji), yakni berkaitan dengan proses dan cara seseorang memahami hadits tersebut. Ada sebagian hadits dianggap bertentangan dengan hadits lain, atau dengan akal (ilmu pengetahuan), karena hadits tersebut dipahami secara tektualis. Padahal jika hadits tersebut dipahami dengan konstektual, misalnya dengan metode ta’wil, kesan pertentangan tersebut akan hilang.
4.      Faktor ideologi (al-bu’du al-madzhabi)
Berkaitan dengan ideologi atau madzhab seseorang ketika memahami suatu hadits. Suatu hadits dinilai bertentangan dengan hadits lain yang menjadi dasar ideologi madzhab atau aliran tertentu.
            Solusi terhadap hadits-hadits yang tampk bertentangan disebabkan oleh faktor ideologi adalah bagaimana “mengurung diri”, kemudian mengumpulkan hadits-hadits tertentu secara kritis, sehingga akan menghasilkan kesimulan secara relatif lebih objektif dan intersubjektif. Pertentangan yang terjadi pada hadits-hadits mukhtalif bersifat lahir, bukan hakiki. Hal ini tentu saja berangkat dari asumsi yang sangat kuat bahwa tidak mungkin terjadi pertentangan yang sangat kuat antara hadits-hadits yang sumbernya sama yaitu Rasulullah SAW.
            Rasulullah diyakini tidak mungkin akan mengajarkan dua hal yang saling bertentangan dengan umatnya. Tidak mungkin beliau memerintahkan umatnya agar berbuat sesuatu, namun bersamaan dengan itu juga memerintahkan agar jangan memperbuatnya karena dalam hal ini berarti tidak ada kepastian hukum.
Daftar Pustaka
Al-Asqalani, Al Imam Al Hafizh, Ibnu Hajar Fathul Baari Syarah Shahih Al-Bukhari Cet. I. Jakarta Selatan: Pustaka Azam. 2001
Al-Jamal Ibrahim Muhammad. Fiqih Muslimah. Jakarta: Pustaka Amani. 1999.

Al-Thoyaar, Abdullah bin Muhammad. Risalah fi Al-Fiqh. Al-Muyassar Cet I. Riyadh: Madar Al Watoni lin Nasyr. Tt
Al-Utsaimin, Syaikh Muhammad bin Shalih. Al-Nihayah fi Ghorib Al-Hadits wal atsar Cet. 5. Mesir: Jannatul Afkar. 2008.

Al-Utsaimin, Syaikh Muhammad bin Shalih. Al-Nihayah fi Ghorib Al-Hadits wal atsar Cet. 5. Mesir: Jannatul Afkar. 2008.
Dr. Yusuf Al Quradhawi. Fikih Thaharah (Jln. Cipinang Muara Raya No. 63 Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar, 2004), 2007-231
[1] Ad Darimi, Sunan Ad Darimi (Versi Kitab 9 Indonesia), kitab Taharah, bab jika kalian shalat basuhlah wajah kalian, no hadits 657.
Prof. Dr. Tajul Arifin , MA. 2009, The Aplication Of “Unity Theory” In Understanding Matan Of Al-Hadits And Determining Its Validity , A Critique To The Critique Of Orientalists. Bandung: UIN Sunan Gunung Djati
PDF Terjemah, “Sahih Bukhari 1001”, da’wahrights, (http://abinyazahid.muliply.com), 2 Desember 2014, h.350.
PDF Terjemah, “Sahih Bukhari 1001”, da’wahrights, (http://abinyazahid.muliply.com), 2 Desember 2014, h.413.




[1] Penulis adalah Mahasiswi semester IV Jurusan Perbandingan Madzhab dan Hukum Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung. Seluruh Korespondensi tentang isi makalah ini dapat dialamatkan kepada : ervinamardiani@gmail.com atau ke 081911953548.
[2] Al-Asqalani, Al Imam Al Hafizh, Ibnu Hajar Fathul Baari Syarah Shahih Al-Bukhari Cet. I. Jakarta Selatan: Pustaka Azam. 2001
[3] Al-Jamal Ibrahim Muhammad. Fiqih Muslimah. Jakarta: Pustaka Amani. 1999.

[4] Al-Thoyaar, Abdullah bin Muhammad. Risalah fi Al-Fiqh. Al-Muyassar Cet I. Riyadh: Madar Al Watoni lin Nasyr. tt
[5] Al-Utsaimin, Syaikh Muhammad bin Shalih. Al-Nihayah fi Ghorib Al-Hadits wal atsar Cet. 5. Mesir: Jannatul Afkar. 2008.
[6] Dr. Yusuf Al Quradhawi. Fikih Thaharah (Jln. Cipinang Muara Raya No. 63 Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar, 2004), 2007-231
[7] Ad Darimi, Sunan Ad Darimi (Versi Kitab 9 Indonesia), kitab Taharah, bab jika kalian shalat basuhlah wajah kalian, no hadits 657.
[8][8] Prof. Dr. Tajul Arifin , MA. 2009, The Aplication Of “Unity Theory” In Understanding Matan Of Al-Hadits And Determining Its Validity , A Critique To The Critique Of Orientalists. Bandung: UIN Sunan Gunung Djati
[9] PDF Terjemah, “Sahih Bukhari 1001”, da’wahrights, (http://abinyazahid.muliply.com), 2 Desember 2014, h.350.
[10] PDF Terjemah, “Sahih Bukhari 1001”, da’wahrights, (http://abinyazahid.muliply.com), 2 Desember 2014, h.413.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MUSIM YANG BERCERITA

“Kita harus siap dengan kemungkinan apapun, bahkan kemungkinan terburuk sekalipun”. Kehidupan ini tidak selalu berbicara tentang...