STATUS
HUKUM POLIGINI DALAM PANDANGAN FUQAHA DAN APLIKASINYA DALAM PERUNDANG-UNDANGAN
DI INDONESIA[1]
Ervina
Mardiani[2]
Perbandingan
Madzhab dan Hukum
Universitas
Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung
Islam
bukanlah satu-satunya agama yang mengakui poligini. Sejarah telah membuktikan
bahwa poligini sudah umum dilakukan sebelum datangnya Islam oleh berbagai suku
bangsa. Di negara-negara seperti Afrika, India, Cina, dan Jepang, poligini
berkembang pesat. [3]
Sejak
dulu poligami telah menjadi topik pembicaraan seluruh dunia, baik Islam maupun
non Islam. Secara etimologis (lughawi) kata poligami berasal dari bahasa
Yunani, yaitu gabungan dari dua kata: poli atau polus yang berarti banyak dan
gamein dan gamos yang berarti perkawinan. Dengan demikian poligami berarti
perkawinan yang banyak (Nasution, 1996: 84). Secara terminologis (ishthilahi)
poligami adalah sistem perkawinan yang salah satu pihak memiliki atau mengawini
beberapa lawan jenisnya dalam waktu yang bersamaan (KBBI, 2001: 885).(Islam, Islam, Fakultas, Sosial, & Negeri, n.d.)
Menurut
Prof. Dr. Musdih Mulia, MA, dosen pasca sarjana UIN syarif Hidayatullah, “Poligami
itu haram lighairih, yaitu haram karena adanya dampak buruk dan ekses-ekses
yang ditimbulkannya.” Ia juga mengaku memiliki data yang menunjukkan bahwa
praktik poligami di masyarakat telah menimbulkan masalah yang sangat krusial
dan problem sosial yang sangat besar. Begitu juga dengan tingginya Kekerasan
Dalam Rumah Tangga (KDRT), keretakan rumahtangga dan penelantaran anak-anak.
Didalam
Pasal 49 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 yang telah diubah dengan Undangundang
No. 3 Tahun 2006 dan perubahan kedua dengan Undang-undang Nomor 50 tahun 2009
menyatakan bahwa “Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus,
dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama
Islam dibidang: perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq,
shadaqah, dan ekonomi syari'ah.
Pada
penjelasan Pasal 49 alinea kedua dijelaskan pula bahwa yang dimaksud dengan
"antara orang-orang yang beragama Islam" adalah “termasuk orang atau
badan hukum yang dengan sendirinya menundukkan diri dengan suka rela kepada
hukum Islam mengenai hal-hal yang menjadi kewenangan Peradilan Agama sesuai
dengan ketentuan pasal ini”. Kemudian pada penjelasan huruf a pasal ini
dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan "perkawinan" adalah “hal-hal
yang diatur dalam atau berdasarkan undang-undang mengenai perkawinan yang
berlaku yang dilakukan menurut syari'ah”, yang antara lain adalah “izin
beristeri lebih dari seorang”.
Izin beristeri lebih dari seorang (istilah
yang umum digunakan adalah izin poligami), dalam penjelasan pasal 49 alinea
kedua sebagaimana di atas dinyatakan termasuk dalam lingkup pengertian
perkawinan, dan tentunya menjadi kewenangan absolut Pengadilan Agama sepanjang
subjek hukumnya adalah orang-orang Islam dan perkawinan yang dilakukan menurut
syariat Islam.
Atas
dasar kewenangan yang diberikan undangundang sebagaimana uraian diatas,
Pengadilan Agama secara absolut berwenang memeriksa dan memutus perkara
permohonan izin poligami yang diajukan kepadanya. Adapun yang menjadi
alasan-alasan dan syarat-syarat berpoligami yang ditentukan oleh undang-undang
dapat ditemukan dalam Pasal 4 ayat (2) dan Pasal 5 ayat (1) Undang-undang Nomor
1 Tahun 1974 yaitu : Pasal 4 ayat (2) Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal
ini hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari
seorang apabila:
1. Isteri
tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri ;
2. Isteri
mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
3. Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
Pasal
5 ayat (1) Untuk mengajukan permohonan kepada Pengadilan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (1) undang-undang ini harus dipenuhi syarat-syarat sebagai
berikut :
- Adanya
persetujuan dari isteri / isteri-isteri;
- Adanya
kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteriisteri
dan anak-anak mereka;
- Adanya
jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak
mereka.
Izin
berpoligami oleh Pengadilan Agama dapat diberikan apabila alasan suami telah
memenuhi alasan-alasan alternatif sesuai ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan
syarat-syarat komulatif yang tercantum dalam Pasal 5 ayat (1) UndangUndang
Nomor 1 Tahun 1974 sebagaimana tersebut di atas. Adapun ketentuan-ketentuan
yuridis formil yang menjadi dasar hukum pemberian izin poligami diatur dalam Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, juncto Peraturan Pemerintah nomor 9
tahun 1975, junto Instruksi Presiden Nomor 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum
Islam. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 3 ayat (2) junto Pasal 43
Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975, menyatakan bahwa “Pengadilan dapat
memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila
dikehendaki pihak-pihak yang bersangkutan”. Selain itu dalam Pasal 4 ayat (1)
dinyatakan “dalam hal seorang suami akan beristeri lebih dari seorang,
sebagaimana tersebut dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini, maka ia wajib
mengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya” (Depag RI,
1997) .
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975
mengatur ketentuan pelaksanaan pemberian secara sembunyi-sembunyi yang pada
gilirannya membawa implikasi yang tidak diinginkan dan mencemarkan citra luhur
perkawinan poligami itu sendiri.Fenomena demikian itulah yang menjadi dasar
opini mereka yang memandang poligami tidak sesuai dengan hak asasi manusia.
Padahal pasangan poligami yang mengikuti
ketentuan-ketentuan perkawinan sesuai hukum materil maupun formil tidak menemui
masalahmasalah sebagaimana yang dihadapi pasangan poligami tidak sehat. Rumah
tangga mereka rukun dan bahagia sama halnya dengan pasangan perkawinan monogami
lainnya. Oleh karena itu, inti persoalan disini adalah bagaimana agar mereka
yang berkeinginan untuk berpoligami mengikuti ketentuan-ketentuan syari’at
perkawinan.
Bukan mempersoalkan bagaimana agar ajaran
poligami dihapuskan dan dinyatakan sebagai perkawinan yang terlarang,
sebagaimana akhir-akhir ini sebagian kalangan mengajukan tuntutan agar segera
diperbaharui undang-undang perkawinan (UU nomor 1 tahun 1974) dan menghapuskan
ketentuan perihal poligami.
Mereka menginginkan asas perkawinan
adalah monogami dengan harga mati dan tidak perlu diberi peluang sedikitpun
kearah sistem perkawinan poligami.Jika pelu dimuat ketentuan sanksi terhadap
pelaku pologami sebagai perbuatan pidana. Opini yang demikian merupakan
kekeliruan besar. Mereka lupa bahwa manusia secara fitrah memang diciptakan
oleh Allah SWT dengan kapasitas hasrat biologis tidak sama.
Ada yang keinginan sahwatnya besar, ada
yang tingkat seksualitasnya kecil, dan bahkan ada yang mengalami cacat seksual
atau tidak memiliki hasrat biologis alias frigit, impoten, dan ada pula yang
pasangan mereka mandul, tidak dapat melahirkan keturunan dan sejumlah masalah
seksual lainnya. Oleh karena itu perlu disadari bahwa ketentuan hukum
diberlakukan untuk mewujudkan ketertiban umum, memberikan jaminan dan
perlindungan hukum atas suatu perilaku hukum dalam masyarakat, bukan untuk
menghapuskan atau menghilangkan sesuatu yang hakekatnya merupakan fitrah
manusia atau sesuatu yang sudah menjadi hukum alam (sunnatullah).
Perkawinan poligami merupakan perbuatan
hukum dan tidak dilarang oleh ketentuan agama, namun hanya diatur sedemikan
rupa agar benarbenar dilakukan sesuai dengan dan untuk tujuan yang dibenarkan
oleh hukum.Oleh karena itu, agar perkawinan poligami benar-benar dilakukan
sesuai dengan tujuan perkawinan, maka perlu diatur dalam suatu peraturan
perundang-undangan.[4]
Syarat-syarat
Poligami Beberapa ulama setelah meninjau ayat-ayat tentang poligami, mereka
menetapkan bahwa menurut asalnya, Islam sebenarnya adalah monogami (menikah
dengan seorang saja). Terdapat ayat yang mangandung peringatan agar tidak
disalah gunakan. Ini semua bartujuan supaya tidak terjadi kezaliman. Tetapi,
poligami diperbolehkan dengan syarat ia dilakukan pada masa-masa terdesak untuk
mengatasi perkara yang tidak dapat diatasi dengan jalan lain. Atau dengan kata
lain bahwa poligami itu diperbolehkan oleh Islam dan tidak dilarang kecuali
jikalau dikhawatirkan bahwa kebaikannya akan dikalahkan oleh keburukannya.
Sebagaimana
talaq, begitu jugalah dengan poligami yang diperbolehkan umatnya berpoligami
berdasarkan nas-nas syariat serta realita keadaan masyarakat. Ini berarti
poligami tidak boleh dilakukan dengan sewenang-wenangnya demi untuk menjaga
ketinggian budi pekerti dan nilai kaum muslimin. Oleh karena itu, apabila
seorang lelaki akan berpoligami hendaklah dia memenuhi syaratsyarat sebagai
berikut:
1. Membatasi
jumlah istri yang akan dinikahinya.
Syarat
ini telah telah disebutkan oleh Allah SWT dengan firman-Nya:
÷bÎ)ur ÷LäêøÿÅz wr& (#qäÜÅ¡ø)è? Îû 4uK»tGuø9$# (#qßsÅ3R$$sù $tB z>$sÛ Nä3s9 z`ÏiB Ïä!$|¡ÏiY9$# 4Óo_÷WtB y]»n=èOur yì»t/âur ( ÷bÎ*sù óOçFøÿÅz wr& (#qä9Ï÷ès? ¸oyÏnºuqsù ÷rr& $tB ôMs3n=tB öNä3ãY»yJ÷r& 4 y7Ï9ºs #oT÷r& wr& (#qä9qãès? ÇÌÈ
Artinya : “Dan jika
kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang
yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang
kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat
berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja[266], atau
budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak
berbuat aniaya”.
Ayat diatas menerangkan dengan jelas
bahwa Allah telah menetapkan seseorang itu menikah tidak boleh lebih dari empat
orang istri. Jadi, Islam membatasi kalau tidak beristri satu, boleh dua,tiga,
atau empat saja.
Diharamkan bagi suami mengumpulkan
wanita-wanita yang masih ada tali persaudaraan menjadi istrinya. Tujuan
pengharaman ini adalah untuk menjaga silaturahim antara anggota-anggota keluarga.
Rasulullah SAW bersabda : “Seungguhnya kalu kamu berbuat yang demikian itu,
akibatnya kamu akan memutuskan silaturahim diantara sesama kamu.” (HR
Bukhari&Muslim) Rasulullah juga memperkuat larangan ini, Bahawa Urnmu
Habibah (Istri Rasulullah) mengusulkan agar baginda menikahi adiknya,
Beliau menjawab:”Sesungguhnya dia
tidak halal untukku.” (HR Bukhari & Muslim) Islam, P. A., Islam, H., Fakultas, P., Sosial, I.,
& Negeri, U. (n.d.). 4. Poligami dalam Hukum Islam, 1–16.
2. Disyaratkan
berlaku adil,seperti dalam QS An Nisa:3 Dengan tegas diterangkan serta dituntut
agar para suami bersikap adil jika akan berpoligami. Andaikan takut tidak dapat
berlaku adil kalau sampai empat orang isteri, cukuplah tiga orang saja. Tetapi
kalau itupun masih juga tidak dapat adil, cukuplah dua sahaja. Dan kalau dua
itu pun masih khawatir tidak bisa berlaku adil, maka hendaklah menikah dengan
seorang saja. Para mufassir berpendapat bahwa berlaku adil itu wajib. Adil di
sini bukanlah berarti hanya adil terhadap para istri saja, tetapi mengandungi
arti berlaku adil secara mutlak. Oleh kerana itu seorang suami hendaklah berlaku
adil sebagai berikut:
a. Berlaku
adil terhadap diri sendiri Seorang suami yang selalu sakit-sakitan dan
mengalami kesukaran untuk bekerja mencari rezeki, sudah tentu tidak akan dapat
memelihara beberapa orang isteri. Apabila dia tetap berpoligami, ini bererti
dia telah menganiayai dirinya sendiri. Sikap yang demikian adalah tidak adil.
b. Adil
diantara para istri Adil diantara istri-istri ini hukumnya wajib, berdasarkan
firman Allah dalam QS.An-Nisa:3. Namun, berlindung pada pernyataan itu pada
kenyataannya, sebagaimana yang ditegaskan Al Quran, berlaku adil sangat sulit
dilakukan (An-Nisa: 129).
Artinya
:”Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara
isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu
janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu
biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan
memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang.” Rasulullah SAW juga bersabda : “Barangsiapa yang
mempunyai istri, lalu dia cenderung kepada salah satu diantaranya dan tidak
berlaku adil diantara mereka, maka kelak di hari kiamat dia akan datang dengan
keadaan pinggangnya miring hampir jatuh sebelah.” (HR. Ahmad bin Hambal).
a) Adil
memberi nafkah Dalam hal suami memberikan nafkah, hendaklah suami tidak
mengurangi nafkah dari salah seorang istrinya. Memeberi nafkah lebih kepada
seorang istri dari yang lain diperbolehkan dengan sebab-sebab tertentu. Prinsip
adil ini tidak ada perbedaan diantara para istri. Kesemuanya mempunyai hak yang
sama sebagai seorang istri.
b) Adil
dalam menyediakan tempat tinggal Para ulama sepakat mengatakan bahwa suami
bertanggung jawab menyediakan tempat tinggal yang tersendiri untuk tiap-tiap
istri dan anak-anaknya sesuai dengan kemampuan suami. Ini semua dilakukan
semata-mata untuk menjaga kesejahteraan mereka.
c) Adil
dalam giliran Istri berhak mendapatkan giliran suaminya di rumahnya sama
lamanya dengan waktu menginap di rumah istri-istri yang lain.
Sekurang-kurangnya suami harus menginap di rumah seorang istri satu malam
suntuk tidak boleh kurang. Begitu juga dengan istri-istri yang lain. Walaupun
ada istri yang sedang haidh, nifas, ataupun sakit, suami wajib adil dalam soal
ini. Karena, tujuan pernikahan dalam Islam bukanlah semata-mata untuk memenuhi
nafsu, tapi bertujuan untuk menyempurnakan kasih sayang dan kerukunan antara suami
dan istri. Hal ini diterangkan dalam firman Allah SWT QS. Ar-Ruum:21
Artinya
: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu
isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram
kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya
pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang
berfikir.” Andaikan suami tidak bisa bersikap adil, maka Ia akan berdosa
dan akan mendapatkan siksaan dari Allah SWT pada hari kiamat dengan tanda-tanda
pinggangnya miring. Hal ini disaksikan oleh seluruh umat manusia sejak Nabi
Adam sampai ke anak cucunya. Allah berifirman dalam QS. Az-Zalzalah:7-8
Artinya
: “Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia
akan melihat (balasan)nya dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar
dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula”.
c. Anak-anak
juga mempunyai hak untuk mendapatkan perlindungan, pemeliharaan serta kasih
sayang yang adil dari seorang ayah.
3. Tidak menimbulkan mudharat bagi istri maupun
anak. Jadi, suami harus yakin bahwa pernikahannya yang baru tidak akan
merugikan kehidupan istri serta anak-anaknya. Karena, diperbolehkan poligami
dalam Islam adalah untuk menjaga kepentingan semua pihak. Jika kepentingan ini
tidak dapat dijaga dengan baik, maka seseorang yang berpoligami pada saat itu
adalah berdosa.
4. Mampu
menafkahi(nafkah lahir), sebagaimana sabda Rasulullah: “Wahai sekalian
pemuda, siapa diantara kamu yang mampu mengeluarkan nafkah,maka hendaklah kamu
menikah. Dan siapa tidak mampu maka hendaklah berpuasa”. Hadis ini menunjukkan
bahawa Rasulullah SAW menyuruh setiap kaum laki-laki supaya menikah, tetapi
dengan syarat sanggup mengeluarkan nafkah kepada isterinya. Andaikan mereka
tidak berkemampuan, maka tidak disarankan menikah walaupun dia seorang yang
sehat lahir serta batinnya.
Oleh
karena itu, untuk menahan nafsunya, dianjurkan agar berpuasa. Jadi, kalau
seorang istri saja sudah kepayahan untuk memberi nafkah, sudah tentulah Islam
melarang orang yang demikian itu berpoligami. Memberi nafkah kepada isteri
adalah wajib berlakunya suatu pernikahan, ketika suami telah memiliki isteri
secara mutlak. Begitu juga si isteri wajib mematuhi serta memberikan semuannya
yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari.
Kesimpulan
dari kemampuan zahir atau lahir ialah :
a. Mampu
memberi nafkah asas seperti pakaian dan makan minum
b. Mampu
menyediakan tempat tinggal yang wajar,
c. Mampu
menyediakan kemudahan asas yang wajar seperti pendidikan,dsb.
d. Sehat
tubuh badannya dan tidak berpenyakit yang bisa menyebabkan Ia gagal dalam memnuhi
tuntutan zahir yang lain.
e. Mempunyai
kemampuan dalam hubungan suami istri.
Menurut
Muhammad Ali As-Sayis, maksud poligini adalah apabila kamu tidak akan sanggup
berlaku adil dalam mengawini anak yatim yang kamu pelihara itu, kawinilah
wanita-wanita lain yang menarik hatimu. Jadi, tujuan yang sebenarnya adalah
larangan anak yatim karena adanya kekhawatiran tidak akan dapat berlaku adil
terhadap mereka, karena itu lebih baik mengawini wanit-wanita lain saja.
Maksud
“adil” disini adalah memberi perlakuan yang sama terhadap istri-istrinya dalam
setiap tindakan serta mampu melakukannya, misalnya persamaan dalam hak dan
nafkah, pergaulan yang baik dan kelembutan berkeluarga tanpa berat sebelah. Adapun
persamaan dalam masalah cinta dan kecenderungan had tidak dapat dituntut karena
manusia tidak mampu melakukannya.
Mengenai
hati, banyak hadits yang membahas masalah ini. Diantaranya, Rasulullah
mengatakan bahwa hati ini sifatnya berubah-ubah bagaikan selembar bulu di
padang pasir yang bergantung pada akar pepohonan, kemudian di bolak balik angin
dari atas kebawah. Ketika Rasulullah menggambarkan hati sebagai selembar bulu
yang bergantung diatas pepohonan yang ditiup angin, beliau mengingatkan agar
kita berhati-hati menghadapi perubahan itu. Oleh karena itu termasuk dalam
kategori ini juga adalah membagi kasih sayang diantara para istri. Sebab
masalah ini adalah persoalan hati. Dalam kaitan ini Rasulullah SAW bersabda, “Teguhkan
hatiku dalam agama-Mu”.[5]
[1] Dedi Supriyadi, Fiqh
Munakahat Perbandingan (dari Tekstualis sampai Legialasi), (Bandung :
Pustaka Setia, 2011)
[2] Penulis adalah Mahasiswi
semester VI Jurusan Perbandingan Madzhab dan Hukum Fakultas Syari’ah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung. Seluruh Korespondensi tentang isi makalah
ini dapat dialamatkan kepada : ervinamardiani@gmail.com
atau ke 081911953548
[3] Dedi Supriyadi, Fiqh
Munakahat Perbandingan (dari Tekstualis sampai Legialasi), (Bandung :
Pustaka Setia, 2011), hlm 125.
[4]
Reza Fitra Ardhian, Satrio
Anugrah, Setyawan Bima, Poligami Dalam Hukum Islam Dan Hukum Positif
Indonesia Serta Urgensi Pemberian Izin Poligam Di Pengadilan Agama, (Privat
Law Vol. III No 2 Juli-Desember 2015).
[5]
Dedi Supriyadi, Fiqh
Munakahat Perbandingan (dari Tekstualis sampai Legialasi), (Bandung :
Pustaka Setia, 2011), hlm 130-131.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar