Selasa, 01 Mei 2018

STATUS HUKUM POLIGINI DALAM PANDANGAN FUQAHA DAN APLIKASINYA DALAM PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA


STATUS HUKUM POLIGINI DALAM PANDANGAN FUQAHA DAN APLIKASINYA DALAM PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA[1]
Ervina Mardiani[2]
Perbandingan Madzhab dan Hukum
Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung
Islam bukanlah satu-satunya agama yang mengakui poligini. Sejarah telah membuktikan bahwa poligini sudah umum dilakukan sebelum datangnya Islam oleh berbagai suku bangsa. Di negara-negara seperti Afrika, India, Cina, dan Jepang, poligini berkembang pesat. [3]
Sejak dulu poligami telah menjadi topik pembicaraan seluruh dunia, baik Islam maupun non Islam. Secara etimologis (lughawi) kata poligami berasal dari bahasa Yunani, yaitu gabungan dari dua kata: poli atau polus yang berarti banyak dan gamein dan gamos yang berarti perkawinan. Dengan demikian poligami berarti perkawinan yang banyak (Nasution, 1996: 84). Secara terminologis (ishthilahi) poligami adalah sistem perkawinan yang salah satu pihak memiliki atau mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu yang bersamaan (KBBI, 2001: 885).(Islam, Islam, Fakultas, Sosial, & Negeri, n.d.)
Menurut Prof. Dr. Musdih Mulia, MA, dosen pasca sarjana UIN syarif Hidayatullah, “Poligami itu haram lighairih, yaitu haram karena adanya dampak buruk dan ekses-ekses yang ditimbulkannya.” Ia juga mengaku memiliki data yang menunjukkan bahwa praktik poligami di masyarakat telah menimbulkan masalah yang sangat krusial dan problem sosial yang sangat besar. Begitu juga dengan tingginya Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), keretakan rumahtangga dan penelantaran anak-anak.
Didalam Pasal 49 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 yang telah diubah dengan Undangundang No. 3 Tahun 2006 dan perubahan kedua dengan Undang-undang Nomor 50 tahun 2009 menyatakan bahwa “Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam dibidang: perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi syari'ah.
Pada penjelasan Pasal 49 alinea kedua dijelaskan pula bahwa yang dimaksud dengan "antara orang-orang yang beragama Islam" adalah “termasuk orang atau badan hukum yang dengan sendirinya menundukkan diri dengan suka rela kepada hukum Islam mengenai hal-hal yang menjadi kewenangan Peradilan Agama sesuai dengan ketentuan pasal ini”. Kemudian pada penjelasan huruf a pasal ini dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan "perkawinan" adalah “hal-hal yang diatur dalam atau berdasarkan undang-undang mengenai perkawinan yang berlaku yang dilakukan menurut syari'ah”, yang antara lain adalah “izin beristeri lebih dari seorang”.
 Izin beristeri lebih dari seorang (istilah yang umum digunakan adalah izin poligami), dalam penjelasan pasal 49 alinea kedua sebagaimana di atas dinyatakan termasuk dalam lingkup pengertian perkawinan, dan tentunya menjadi kewenangan absolut Pengadilan Agama sepanjang subjek hukumnya adalah orang-orang Islam dan perkawinan yang dilakukan menurut syariat Islam.
Atas dasar kewenangan yang diberikan undangundang sebagaimana uraian diatas, Pengadilan Agama secara absolut berwenang memeriksa dan memutus perkara permohonan izin poligami yang diajukan kepadanya. Adapun yang menjadi alasan-alasan dan syarat-syarat berpoligami yang ditentukan oleh undang-undang dapat ditemukan dalam Pasal 4 ayat (2) dan Pasal 5 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 yaitu : Pasal 4 ayat (2) Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila:
1.      Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri ;
2.      Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
3.       Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
Pasal 5 ayat (1) Untuk mengajukan permohonan kepada Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) undang-undang ini harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
  1. Adanya persetujuan dari isteri / isteri-isteri;
  2. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteriisteri dan anak-anak mereka;
  3. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka.
Izin berpoligami oleh Pengadilan Agama dapat diberikan apabila alasan suami telah memenuhi alasan-alasan alternatif sesuai ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan syarat-syarat komulatif yang tercantum dalam Pasal 5 ayat (1) UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 sebagaimana tersebut di atas. Adapun ketentuan-ketentuan yuridis formil yang menjadi dasar hukum pemberian izin poligami diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, juncto Peraturan Pemerintah nomor 9 tahun 1975, junto Instruksi Presiden Nomor 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 3 ayat (2) junto Pasal 43 Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975, menyatakan bahwa “Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki pihak-pihak yang bersangkutan”. Selain itu dalam Pasal 4 ayat (1) dinyatakan “dalam hal seorang suami akan beristeri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya” (Depag RI, 1997) .
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 mengatur ketentuan pelaksanaan pemberian secara sembunyi-sembunyi yang pada gilirannya membawa implikasi yang tidak diinginkan dan mencemarkan citra luhur perkawinan poligami itu sendiri.Fenomena demikian itulah yang menjadi dasar opini mereka yang memandang poligami tidak sesuai dengan hak asasi manusia.
Padahal pasangan poligami yang mengikuti ketentuan-ketentuan perkawinan sesuai hukum materil maupun formil tidak menemui masalahmasalah sebagaimana yang dihadapi pasangan poligami tidak sehat. Rumah tangga mereka rukun dan bahagia sama halnya dengan pasangan perkawinan monogami lainnya. Oleh karena itu, inti persoalan disini adalah bagaimana agar mereka yang berkeinginan untuk berpoligami mengikuti ketentuan-ketentuan syari’at perkawinan.
Bukan mempersoalkan bagaimana agar ajaran poligami dihapuskan dan dinyatakan sebagai perkawinan yang terlarang, sebagaimana akhir-akhir ini sebagian kalangan mengajukan tuntutan agar segera diperbaharui undang-undang perkawinan (UU nomor 1 tahun 1974) dan menghapuskan ketentuan perihal poligami.
Mereka menginginkan asas perkawinan adalah monogami dengan harga mati dan tidak perlu diberi peluang sedikitpun kearah sistem perkawinan poligami.Jika pelu dimuat ketentuan sanksi terhadap pelaku pologami sebagai perbuatan pidana. Opini yang demikian merupakan kekeliruan besar. Mereka lupa bahwa manusia secara fitrah memang diciptakan oleh Allah SWT dengan kapasitas hasrat biologis tidak sama.
Ada yang keinginan sahwatnya besar, ada yang tingkat seksualitasnya kecil, dan bahkan ada yang mengalami cacat seksual atau tidak memiliki hasrat biologis alias frigit, impoten, dan ada pula yang pasangan mereka mandul, tidak dapat melahirkan keturunan dan sejumlah masalah seksual lainnya. Oleh karena itu perlu disadari bahwa ketentuan hukum diberlakukan untuk mewujudkan ketertiban umum, memberikan jaminan dan perlindungan hukum atas suatu perilaku hukum dalam masyarakat, bukan untuk menghapuskan atau menghilangkan sesuatu yang hakekatnya merupakan fitrah manusia atau sesuatu yang sudah menjadi hukum alam (sunnatullah).
Perkawinan poligami merupakan perbuatan hukum dan tidak dilarang oleh ketentuan agama, namun hanya diatur sedemikan rupa agar benarbenar dilakukan sesuai dengan dan untuk tujuan yang dibenarkan oleh hukum.Oleh karena itu, agar perkawinan poligami benar-benar dilakukan sesuai dengan tujuan perkawinan, maka perlu diatur dalam suatu peraturan perundang-undangan.[4]
Syarat-syarat Poligami Beberapa ulama setelah meninjau ayat-ayat tentang poligami, mereka menetapkan bahwa menurut asalnya, Islam sebenarnya adalah monogami (menikah dengan seorang saja). Terdapat ayat yang mangandung peringatan agar tidak disalah gunakan. Ini semua bartujuan supaya tidak terjadi kezaliman. Tetapi, poligami diperbolehkan dengan syarat ia dilakukan pada masa-masa terdesak untuk mengatasi perkara yang tidak dapat diatasi dengan jalan lain. Atau dengan kata lain bahwa poligami itu diperbolehkan oleh Islam dan tidak dilarang kecuali jikalau dikhawatirkan bahwa kebaikannya akan dikalahkan oleh keburukannya.
Sebagaimana talaq, begitu jugalah dengan poligami yang diperbolehkan umatnya berpoligami berdasarkan nas-nas syariat serta realita keadaan masyarakat. Ini berarti poligami tidak boleh dilakukan dengan sewenang-wenangnya demi untuk menjaga ketinggian budi pekerti dan nilai kaum muslimin. Oleh karena itu, apabila seorang lelaki akan berpoligami hendaklah dia memenuhi syaratsyarat sebagai berikut:
1.      Membatasi jumlah istri yang akan dinikahinya.
Syarat ini telah telah disebutkan oleh Allah SWT dengan firman-Nya:
÷bÎ)ur ÷LäêøÿÅz žwr& (#qäÜÅ¡ø)è? Îû 4uK»tGuø9$# (#qßsÅ3R$$sù $tB z>$sÛ Nä3s9 z`ÏiB Ïä!$|¡ÏiY9$# 4Óo_÷WtB y]»n=èOur yì»t/âur ( ÷bÎ*sù óOçFøÿÅz žwr& (#qä9Ï÷ès? ¸oyÏnºuqsù ÷rr& $tB ôMs3n=tB öNä3ãY»yJ÷ƒr& 4 y7Ï9ºsŒ #oT÷Šr& žwr& (#qä9qãès? ÇÌÈ  
Artinya : “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja[266], atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”.
Ayat diatas menerangkan dengan jelas bahwa Allah telah menetapkan seseorang itu menikah tidak boleh lebih dari empat orang istri. Jadi, Islam membatasi kalau tidak beristri satu, boleh dua,tiga, atau empat saja.
Diharamkan bagi suami mengumpulkan wanita-wanita yang masih ada tali persaudaraan menjadi istrinya. Tujuan pengharaman ini adalah untuk menjaga silaturahim antara anggota-anggota keluarga. Rasulullah SAW bersabda : “Seungguhnya kalu kamu berbuat yang demikian itu, akibatnya kamu akan memutuskan silaturahim diantara sesama kamu.” (HR Bukhari&Muslim) Rasulullah juga memperkuat larangan ini, Bahawa Urnmu Habibah (Istri Rasulullah) mengusulkan agar baginda menikahi adiknya,
Beliau menjawab:”Sesungguhnya dia tidak halal untukku.” (HR Bukhari & Muslim) Islam, P. A., Islam, H., Fakultas, P., Sosial, I., & Negeri, U. (n.d.). 4. Poligami dalam Hukum Islam, 1–16.
2.      Disyaratkan berlaku adil,seperti dalam QS An Nisa:3 Dengan tegas diterangkan serta dituntut agar para suami bersikap adil jika akan berpoligami. Andaikan takut tidak dapat berlaku adil kalau sampai empat orang isteri, cukuplah tiga orang saja. Tetapi kalau itupun masih juga tidak dapat adil, cukuplah dua sahaja. Dan kalau dua itu pun masih khawatir tidak bisa berlaku adil, maka hendaklah menikah dengan seorang saja. Para mufassir berpendapat bahwa berlaku adil itu wajib. Adil di sini bukanlah berarti hanya adil terhadap para istri saja, tetapi mengandungi arti berlaku adil secara mutlak. Oleh kerana itu seorang suami hendaklah berlaku adil sebagai berikut:
a.       Berlaku adil terhadap diri sendiri Seorang suami yang selalu sakit-sakitan dan mengalami kesukaran untuk bekerja mencari rezeki, sudah tentu tidak akan dapat memelihara beberapa orang isteri. Apabila dia tetap berpoligami, ini bererti dia telah menganiayai dirinya sendiri. Sikap yang demikian adalah tidak adil.
b.      Adil diantara para istri Adil diantara istri-istri ini hukumnya wajib, berdasarkan firman Allah dalam QS.An-Nisa:3. Namun, berlindung pada pernyataan itu pada kenyataannya, sebagaimana yang ditegaskan Al Quran, berlaku adil sangat sulit dilakukan (An-Nisa: 129).
Artinya :”Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” Rasulullah SAW juga bersabda : “Barangsiapa yang mempunyai istri, lalu dia cenderung kepada salah satu diantaranya dan tidak berlaku adil diantara mereka, maka kelak di hari kiamat dia akan datang dengan keadaan pinggangnya miring hampir jatuh sebelah.” (HR. Ahmad bin Hambal).
a)      Adil memberi nafkah Dalam hal suami memberikan nafkah, hendaklah suami tidak mengurangi nafkah dari salah seorang istrinya. Memeberi nafkah lebih kepada seorang istri dari yang lain diperbolehkan dengan sebab-sebab tertentu. Prinsip adil ini tidak ada perbedaan diantara para istri. Kesemuanya mempunyai hak yang sama sebagai seorang istri.
b)      Adil dalam menyediakan tempat tinggal Para ulama sepakat mengatakan bahwa suami bertanggung jawab menyediakan tempat tinggal yang tersendiri untuk tiap-tiap istri dan anak-anaknya sesuai dengan kemampuan suami. Ini semua dilakukan semata-mata untuk menjaga kesejahteraan mereka.
c)      Adil dalam giliran Istri berhak mendapatkan giliran suaminya di rumahnya sama lamanya dengan waktu menginap di rumah istri-istri yang lain. Sekurang-kurangnya suami harus menginap di rumah seorang istri satu malam suntuk tidak boleh kurang. Begitu juga dengan istri-istri yang lain. Walaupun ada istri yang sedang haidh, nifas, ataupun sakit, suami wajib adil dalam soal ini. Karena, tujuan pernikahan dalam Islam bukanlah semata-mata untuk memenuhi nafsu, tapi bertujuan untuk menyempurnakan kasih sayang dan kerukunan antara suami dan istri. Hal ini diterangkan dalam firman Allah SWT QS. Ar-Ruum:21
Artinya : “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” Andaikan suami tidak bisa bersikap adil, maka Ia akan berdosa dan akan mendapatkan siksaan dari Allah SWT pada hari kiamat dengan tanda-tanda pinggangnya miring. Hal ini disaksikan oleh seluruh umat manusia sejak Nabi Adam sampai ke anak cucunya. Allah berifirman dalam QS. Az-Zalzalah:7-8
Artinya : “Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula”.
c.       Anak-anak juga mempunyai hak untuk mendapatkan perlindungan, pemeliharaan serta kasih sayang yang adil dari seorang ayah.
3.       Tidak menimbulkan mudharat bagi istri maupun anak. Jadi, suami harus yakin bahwa pernikahannya yang baru tidak akan merugikan kehidupan istri serta anak-anaknya. Karena, diperbolehkan poligami dalam Islam adalah untuk menjaga kepentingan semua pihak. Jika kepentingan ini tidak dapat dijaga dengan baik, maka seseorang yang berpoligami pada saat itu adalah berdosa.
4.      Mampu menafkahi(nafkah lahir), sebagaimana sabda Rasulullah: “Wahai sekalian pemuda, siapa diantara kamu yang mampu mengeluarkan nafkah,maka hendaklah kamu menikah. Dan siapa tidak mampu maka hendaklah berpuasa”. Hadis ini menunjukkan bahawa Rasulullah SAW menyuruh setiap kaum laki-laki supaya menikah, tetapi dengan syarat sanggup mengeluarkan nafkah kepada isterinya. Andaikan mereka tidak berkemampuan, maka tidak disarankan menikah walaupun dia seorang yang sehat lahir serta batinnya.
Oleh karena itu, untuk menahan nafsunya, dianjurkan agar berpuasa. Jadi, kalau seorang istri saja sudah kepayahan untuk memberi nafkah, sudah tentulah Islam melarang orang yang demikian itu berpoligami. Memberi nafkah kepada isteri adalah wajib berlakunya suatu pernikahan, ketika suami telah memiliki isteri secara mutlak. Begitu juga si isteri wajib mematuhi serta memberikan semuannya yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari.
Kesimpulan dari kemampuan zahir atau lahir ialah :
a.       Mampu memberi nafkah asas seperti pakaian dan makan minum
b.      Mampu menyediakan tempat tinggal yang wajar,
c.       Mampu menyediakan kemudahan asas yang wajar seperti pendidikan,dsb.
d.      Sehat tubuh badannya dan tidak berpenyakit yang bisa menyebabkan Ia gagal dalam memnuhi tuntutan zahir yang lain.
e.       Mempunyai kemampuan dalam hubungan suami istri.
Menurut Muhammad Ali As-Sayis, maksud poligini adalah apabila kamu tidak akan sanggup berlaku adil dalam mengawini anak yatim yang kamu pelihara itu, kawinilah wanita-wanita lain yang menarik hatimu. Jadi, tujuan yang sebenarnya adalah larangan anak yatim karena adanya kekhawatiran tidak akan dapat berlaku adil terhadap mereka, karena itu lebih baik mengawini wanit-wanita lain saja.
Maksud “adil” disini adalah memberi perlakuan yang sama terhadap istri-istrinya dalam setiap tindakan serta mampu melakukannya, misalnya persamaan dalam hak dan nafkah, pergaulan yang baik dan kelembutan berkeluarga tanpa berat sebelah. Adapun persamaan dalam masalah cinta dan kecenderungan had tidak dapat dituntut karena manusia tidak mampu melakukannya.
Mengenai hati, banyak hadits yang membahas masalah ini. Diantaranya, Rasulullah mengatakan bahwa hati ini sifatnya berubah-ubah bagaikan selembar bulu di padang pasir yang bergantung pada akar pepohonan, kemudian di bolak balik angin dari atas kebawah. Ketika Rasulullah menggambarkan hati sebagai selembar bulu yang bergantung diatas pepohonan yang ditiup angin, beliau mengingatkan agar kita berhati-hati menghadapi perubahan itu. Oleh karena itu termasuk dalam kategori ini juga adalah membagi kasih sayang diantara para istri. Sebab masalah ini adalah persoalan hati. Dalam kaitan ini Rasulullah SAW bersabda, “Teguhkan hatiku dalam agama-Mu”.[5]


[1] Dedi Supriyadi, Fiqh Munakahat Perbandingan (dari Tekstualis sampai Legialasi), (Bandung : Pustaka Setia, 2011)
[2] Penulis adalah Mahasiswi semester VI Jurusan Perbandingan Madzhab dan Hukum Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung. Seluruh Korespondensi tentang isi makalah ini dapat dialamatkan kepada : ervinamardiani@gmail.com atau ke 081911953548
[3] Dedi Supriyadi, Fiqh Munakahat Perbandingan (dari Tekstualis sampai Legialasi), (Bandung : Pustaka Setia, 2011), hlm 125.
[4] Reza Fitra Ardhian, Satrio Anugrah, Setyawan Bima, Poligami Dalam Hukum Islam Dan Hukum Positif Indonesia Serta Urgensi Pemberian Izin Poligam Di Pengadilan Agama, (Privat Law Vol. III No 2 Juli-Desember 2015).
[5] Dedi Supriyadi, Fiqh Munakahat Perbandingan (dari Tekstualis sampai Legialasi), (Bandung : Pustaka Setia, 2011), hlm 130-131.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MUSIM YANG BERCERITA

“Kita harus siap dengan kemungkinan apapun, bahkan kemungkinan terburuk sekalipun”. Kehidupan ini tidak selalu berbicara tentang...